Untuk tarif listrik pelanggan rumah tangga misalnya, Indonesia masih memberikan subsidi untuk 23 juta pelanggan 450 VA dan 4,1 juta pelanggan 900 VA. Para pelanggan yang disubsidi hanya membayar Rp 605/kWh, jauh lebih murah dibanding tarif listrik di Malaysia.
Secara rata-rata, kalau pelanggan yang disubsidi juga dihitung, tarif listrik di Indonesia hanya Rp 1.360/kWh, lebih rendah dibanding rata-rata di Malaysia yang sebesar Rp 1.374/kWh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk golongan pelanggan bisnis, Made mengklaim tarif di Indonesia juga lebih rendah dibanding Malaysia. Di Indonesia, katanya, rata-rata tarif pelanggan bisnis hanya Rp 1.159/kWh, sementara di Malaysia Rp 1.350/kWh.
"Bisnis lebih murah kita. Kita rata-rata Rp 1.159/kWh, Malaysia Rp 1.350/kWh," tutur Made.
Demikian juga tarif listrik industri, menurut Made masih lebih kompetitif tarif di Indonesia. Industri besar di Malaysia, katanya, dikenai tarif Rp 1.066/kWh, sedangkan di Indonesia cuma Rp 1.011/kWh. "Industri besar Malaysia 1.066, kita cuma 1.011," ujar Made.
Ia menambahkan, melistriki wilayah Indonesia jauh lebih sulit dibanding Malaysia. Indonesia punya belasan ribu pulau, Malaysia jauh lebih sedikit. Malaysia tidak punya banyak daerah terpencil seperti Indonesia.
Daerah-daerah terpencil di Indonesia sulit dijangkau, PLN terpaksa menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang menggunakan solar untuk menerangi pelosok negeri. Akibatnya, rata-rata biaya pokok penyediaan (BPP) listrik jadi mahal.
Jadi membandingkan tarif listrik di Indonesia dan Malaysia sebenarnya kurang fair. "Kalau Malaysia sebagian besar daratan. Hambatan yang dia miliki tidak seperti kita. Kita punya ribuan daerah terisolasi yang mau tidak mau pakai PLTD. Solar adalah energi primer paling mahal," tutupnya. (mca/hns)











































