Nasib 3 Ladang Gas Raksasa RI Tidak Jelas, Mengapa?

Nasib 3 Ladang Gas Raksasa RI Tidak Jelas, Mengapa?

Michael Agustinus - detikFinance
Rabu, 26 Jul 2017 11:48 WIB
Foto: Michael Agustinus
Jakarta - Separuh dari cadangan gas bumi Indonesia terkonsentrasi di 3 tempat, yaitu Blok East Natuna 49,87 triliun kaki kubik (TCF), Blok Masela 16,73 TCF, dan IDD 2,66 TCF. Ketiganya adalah ladang gas yang akan menjadi tulang punggung produksi nasional di masa depan.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini total cadangan gas bumi Indonesia sebanyak 144,06 TSCF, terdiri dari cadangan terbukti (P1) sebesar 101,22 TSCF dan cadangan potensial (P2) 42,84 TSCF.

Tapi produksi gas di East Natuna, Masela, dan IDD terancam molor dari jadwal. Pengembangan gas di 3 tempat tersebut mengalami berbagai kendala yang sudah bertahun-tahun tak berhasil diselesaikan pemerintah dari masa ke masa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut masalah dan perkembangan terakhir di ketiga ladang gas 'raksasa' itu, sebagaimana dirangkum detikFinance:

Blok East Natuna

Cadangan gas Blok East Natuna sudah berhasil ditemukan sejak 1973 alias 44 tahun lalu, tapi sampai sekarang belum ada aktivitas fisik di sana. Padahal perairan Natuna bagian timur terancam dicaplok, China mengklaim daerah tersebut sebagai wilayahnya karena masuk dalam 9 garis batas di Laut Cina Selatan. Indonesia harus segera melakukan aktivitas di sana untuk menunjukkan kedaulatan.

East Natuna direncanakan mulai memproduksi gas hingga 1.000 MMSCFD pada 2027. Nilai proyeknya hingga memasuki tahap produksi saja diperkirakan sudah mencapai US$ 40 miliar alias Rp 520 triliun.

Kesulitan dalam pengembangan Blok East Natuna adalah kandungan CO2 yang mencapai 72% sehingga diperlukan teknologi khusus untuk memproduksi gasnya, biayanya pun pasti mahal. Di 2013 lalu, ExxonMobil dan Pertamina sudah pernah mengajukan skenario ke pemerintah agar Blok East Natuna ekonomis untuk dikembangkan. Namun pemerintah tak menyetujuinya.

Jika berhasil dikembangkan, gas dari East Natuna dapat dialirkan melalui pipa transmisi ke Jawa melalui Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, maka akan banyak wilayah yang bisa menikmati pasokan gasnya. Industri bisa berkembang di sepanjang jalur pipa, begitu juga pembangkit listrik.

Sekarang masa depan Blok East Natuna diliputi tanda tanya. Pekan lalu, ExxonMobil telah mengirimkan surat kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan. Exxon secara resmi mengembalikan East Natuna kepada pemerintah dan tak mau berinvestasi lagi di sana.

"Exxon melihat bahwa secara keekonomian WK East Natuna tidak masuk dalam portofolionya karena kandungan CO2 yang sangat tinggi sampai 72%," kata Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar.

Blok Masela

PSC Blok Masela sudah ditandatangani oleh Inpex Corporation sejak 1998 alias 19 tahun silam. Cadangan gas yang terbukti sudah ditemukan melalui kegiatan eksplorasi pada 2006 atau lebih dari 1 dekade lalu.

Blok Masela awalnya ditargetkan mulai memproduksi gas sebesar 1.200 MMSCFD pada 2024. Nilai proyeknya diperkirakan mencapai US$ 30 miliar alias Rp 390 triliun, investasi yang sangat besar. Tapi dipastikan molor setidaknya 2 tahun karena Plan of Development (PoD) Masela harus direvisi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kilang LNG Masela dibangun di darat (onshore).

Jika tak ada aral melintang, paling cepat gas dari Blok Masela baru akan mengalir pada 2026. Aktivitas fisik (Engineering Procurement and Construction/EPC) baru dimulai kira-kira 2022. Butuh kurang lebih 4 tahun untuk konstruksi.

Gas bumi dari Blok Masela rencananya dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia serta dilikuifasi menjadi LNG. Pembangunan kilang di darat diharapkan mampu memberikan multiplier effect bagi tumbuhnya industri, pengembangan kawasan, dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Perdebatan soal kilang LNG Masela sempat menyita perhatian publik pada awal 2016. Sudirman Said yang waktu itu Menteri ESDM dan Rizal Ramli yang ketika itu Menko Kemaritiman berpolemik keras di media massa. Sudirman ngotot kilang LNG dibangun di lepas pantai (offshore), sedangkan Rizal ingin onshore. Akhirnya pada Maret 2016 Jokowi memutuskan harus memakai skema onshore.

Setelah perdebatan soal onshore dan offshore berakhir, Masela tetap dirundung masalah. Yang teranyar, sudah dari 22 Mei 2017 alias 2 bulan lalu Inpex mengajukan Authorization For Expenditure (AFE) ke SKK Migas untuk memulai Pre-FEED (Pre Front End Engineering Desgin) alias rancangan pengembangan Masela, tapi AFE tak kunjung disetujui karena ada perdebatan soal besarnya biaya Pre-FEED.

Indonesia Deepwater Development (IDD)

Pengembangan lapangan IDD di Lapangan Gendalo dan Gehem Selat Makassar, diharapkan akan menambah pasokan gas hingga 800 MMSCFD. Plan of Development (PoD) Lapangan IDD telah disetujui pada tahun 2008, namun pada 2012 Chevron Indonesia Company meminta dilakukan perubahan PoD karena ada perubahan nilai investasi yang mencapai US$ 12 miliar.

Dengan jatuhnya harga minyak, bagi Chevron proyek IDD ini kalah dengan portofolio proyek di tempat lain. Saat ini yang baru dikembangkan hanya Lapangan Bangka.

Kabar terbaru yang agak melegakan, revisi PoD baru-baru ini diserahkan Chevron ke SKK Migas. "Chevron sudah mengajukan revisi PoD, kegiatannya mulai lagi," ungkap Arcandra.

Biaya investasi yang diajukan dalam PoD, kata Arcandra, tidak sampai US$ 12 miliar. Jadi pembengkakannya tak separah yang diperkirakan sebelumnya. "Tahun lalu dia (Chevron) bilang sudah turun jauh, tapi saya belum lihat detailnya," pungkasnya. (mca/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads