Nama Dasep berkibar ketika Dahlan yang waktu itu Menteri BUMN mulai mendorong pengembangan mobil listrik pada tahun 2012. Mobil listrik kecil berwarna hijau terang yang dibawa Dahlan mengaspal pada 16 Juli 2012 adalah hasil karyanya.
Setelah pergantian rezim pada 2014, peruntungan Dasep berubah. Proyek mobil listrik Dahlan tak dilanjutkan oleh pemerintahan baru, hilang bak ditelan bumi. Bukan hanya dihentikan, Dahlan dan para pembuat mobil listriknya dituding berbuat kriminal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun didorong untuk menciptakan mobil listrik 'Made in Indonesia'. Apakah para peneliti BPPT tak takut senasib dengan Dasep?
Peneliti Senior BPPT yang berkecimpung di riset mobil listrik dan energi terbarukan, Ganesha Tri Chandrasa, menyatakan bahwa pihaknya tetap semangat mengembangkan mobil listrik. Memang harus ada kehati-hatian, terutama soal administrasi.
"Pada prinsipnya peneliti di BPPT tetap semangat. Pak Dasep kan swasta, harus ada untung rugi, memang harus hati-hati," kata Ganesha kepada detikFinance, Jumat (28/7/2017).
Yang penting pengembangan mobil listrik mengikuti aturan-aturan yang berlaku, transparan dan akuntabel, harus memenuhi prinsip Good Corporate Governance (GCG). "Kalau dari lembaga penelitian, GCG harus terpenuhi, tidak menyalahi aturan," tegasnya.
Sebagai informasi, kasus mobil listrik yang menjerat Dahlan dan Dasep berawal dari kesepakatan tiga BUMN untuk membiayai pengadaan 16 mobil listrik senilai kira-kira Rp 32 miliar. Saat itu PT Sarimas Ahmadi Pratama ditunjuk sebagai pihak swasta yang dianggap kompeten untuk mengerjakan pengadaan tersebut.
Tiga BUMN yang dimaksud adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI), Perusahaan Gas Negara (PGN), dan PT Pertamina. Belasan mobil listrik tersebut rencananya akan digunakan saat konferensi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali, Oktober 2013.
Dianggap tak memenuhi kualifikasi untuk digunakan peserta forum APEC, mobil-mobil listrik yang telah diproduksi selanjutnya diserahkan kepada beberapa universitas untuk dijadikan bahan penelitian.
Dasep yang menjabat sebagai Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama kemudian ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan merugikan keuangan negara. Dasep kemudian divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan pada Maret 2016 oleh Pengadilan Tipikor. (mca/dna)