Jonan mengubah patokan harga listrik dari energi terbarukan melalui Permen ini. Dalam Permen 12/2017, harga pembelian listrik dari tenaga surya, angin, air, biomassa, dan biogas dipatok paling tinggi sebesar 85% Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik setempat.
Dalam aturan baru, batas atas tarif tersebut dihapus khusus untuk wilayah yang memiliki BPP lebih rendah dari BPP nasional, misalnya Jawa, Bali, Sumatera. Harga ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengembang energi terbarukan dengan PLN (mekanisme business to business/B to B).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi aturan baru Jonan ini belum memuaskan pelaku usaha. Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Surya Dharma, mengatakan bahwa belum ada perubahan signifikan dari Permen ESDM 12/2017 ke Permen ESDM 50/2017.
"Kita apresiasi bahwa pemerintah melihat juga masukan-masukan dari stakeholder. Saya lihat pemerintah berbesar hati. Walaupun, yang kita lihat itu belum terlalu banyak perubahan yang signifikan," kata Surya Dharma usai coffee morning di Kantor Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta, Kamis (10/8/2017).
Ia berpendapat, Permen ESDM 50/2017 belum cukup mendukung pengembangan energi terbarukan.
"Di sini justru ada pengekangan, tidak ada perbedaan dengan energi lain, jadi silakan bersaing energi terbarukan dengan yang lain (energi fosil). Kalau sanggup bersaing jalan, kalau enggak sanggup ya berhenti. Itu kan berbeda dengan semangatnya di Undang Undang yang dibilang energi terbarukan prioritas," ucapnya.
Pihaknya juga kurang puas karena produsen listrik swasta tetap diwajibkan menggunakan skema BOOT (Build, Own, Operate, Transfer), jadi pembangkit listrik diserahkan ke PLN begitu kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) habis.
"BOOT itu artinya begitu kontrak selesai diserahkan ke PLN, artinya berakhir. Itu kan enggak sesuai dengan kaidah bisnis. Bisnis itu kita melakukan kegiatan untuk waktu yang tidak terbatas. Kalau pola ini yang diterapkan maka setelah sekian tahun berhenti. Kalau demikian kenapa tidak dilakukan saja oleh pemerintah seluruhnya? Investasinya dari pemerintah saja. Jadi tidak ada kesan tarik menarik," paparnya.
Lebih lanjut, Surya mengkritik perubahan aturan yang kerap terjadi tanpa melibatkan pelaku usaha, tidak ada jaminan kepastian. Dalam revisi Permen ESDM 12/2017 misalnya, METI tidak diajak berdiskusi sama sekali.
"Ibarat masuk ke rumah makan, kita sudah pesan makan, sudah ada harganya. Tapi begitu lagi makan tiba-tiba harga berubah, ini bagaimana? Ini pebisnis juga begitu. Orang sedang usaha, tiba-tiba aturan berubah," tutupnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), Riza Husni, mengkritik panjangnya birokrasi dalam penetapan harga pembelian listrik dari energi terbarukan.
Di Permen ESDM 50/2017 ini, harga yang sudah disepakati oleh PLN dan produsen listrik swasta harus mendapat persetujuan Menteri ESDM.
"Untuk apa itu sampai yang kecil-kecil Pak Menteri mau masuk, itu untuk apa? Saya rasa ini memperpanjang birokrasi," tutupnya. (mca/dna)











































