"Dalam banyak kasus mogok, pekerja dan serikat pekerja lalai mematuhi seluruh persyaratan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003," kata Praktisi Hukum Hubungan Industrial, Kemalsjah Siregar, dalam diskusi di Pertama Kuningan, Jakarta, Rabu (23/8/2017).
Aturan-aturan itu harus diperhatikan. Pemogokan yang tidak sah bisa membuat para pekerja yang ikut aksi kehilangan pekerjaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemalsjah menerangkan, mogok kerja boleh dilakukan apabila perundingan antara pekerja dan pengusaha gagal. Itu syarat utama pemogokan. Jika tidak memenuhi syarat utama ini, aksi mogok jelas tidak sah.
"Yang dimaksud gagalnya perundingan ada dalam pasal 4 Kepmenakertrans Nomor 232 Tahun 2003, yaitu pengusaha tidak mau diajak berunding atau perundingan mencapai jalan buntu," paparnya.
Selama dalam risalah-risalah perundingan belum tertulis gagal, maka perundingan dianggap belum gagal dan belum dapat dilakukan aksi mogok.
"Selama perundingan dilakukan, belum mencapai kesepakatan, dalam risalah tidak disebutkan jalan buntu, berarti belum gagal. Tidak ada ketentuan berapa lama perundingan. Misalnya dalam risalah, disebut sepakat untuk tidak sepakat, itu gagal," ucapnya.
Jika pihak pengusaha sudah dikirimi surat untuk diajak berunding dan tidak ditanggapi dalam 2 minggu, perundingan juga dapat dikatakan gagal dan syarat untuk dilakukan aksi mogok sudah terpenuhi.
"Kalau surat dikirim 2 kali dalam 2 minggu tidak dijawab, itu telah terjadi perundingan gagal," tukasnya.
Aksi mogok juga harus dilakukan dengan tertib dan damai, tidak boleh rusuh. Harus jelas juga waktu pemogokan dan jangka waktunya. (mca/ang)











































