Dalam pertemuan itu Luhut mengatakan pihaknya menerima paparan tentang teknologi mengubah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM). Namun bukan BBM yang langsung siap dipakai, melainkan crude oil alias minyak mentah yang akan diolah lebih lanjut untuk jadi BBM.
Luhut mengungkapkan pemerintah Indonesia tertarik dengan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan asal Australia tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luhut mengatakan, untuk saat ini pihaknya masih mempelajari dan mengkaji teknologi tersebut.
"Masih belum tahu (modelnya seperti apa) Ya semua harus dikaji dong, masak ketemu langsung jadi," jelasnya.
Sementara itu Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno, menjelaskan perusahaan asal Australia itu memiliki teknologi untuk mengubah plastik menjadi BBM jenis diesel, gasoline, maupun menjadi Liquefied Natural Gas (LNG).
"Sebenarnya teknologi pirolisis ini, yakni mengubah plastik jadi bahan bakar, itu sudah lama ada. Cuma yang ada di market adalah teknologi mengubah plastik jadi crude oil. Dari crude oil, jadi BBM siap pakai, itu masih perlu lagi step-step yang lain," katanya Arif.
"Nah teknologi dia (Perusahaan Australia) itu, ada teknologi dasar pirolisis, dan ada teknologi barunya, jadi bisa membuat 200 ton/hari sampah plastik itu menghasilkan 70 juta liter pertahun. Bentuknya diesel, gasoline, dan LNG," sambung dia.
Teknologi tersebut, kata Arif, saat ini juga mulai dibangun di beberapa negara, mulai dari Inggris, belanda, Inggris, hingga Jerman.
Teknologi itu bisa membuat plastik dalam bentuk apapun, baik yang baru maupun sampah bisa diubah menjadi bahan bakar minyak dengan berbagai proses. Saat ini, rencana tersebut masih terus dikaji oleh pemerintah.
"Jadi enggak harus plastik baru, sampah pun bisa. Itu bisa langsung jadi BBM, itu hebatnya teknologi itu. Dan kita mau mencoba teknologi itu. Sekarang kita sedang minta bisnis plannya," kata Arif.
Lebih lanjut Arif menambahkan, salah satu tujuan dari mengubah plastik menjadi BBM tersebut ialah untuk mengurangi permasalahan sampah, terutama sampah plastik yang ada di Indonesia.
Dari catatannya, jika melihat dalam standar internasional dalam melakukan pengelolaan sampah dibutuhkan dana sekitar US$ 15/orang/tahun. Namun, di Indonesia, dana pengelolaannya jauh lebih rendah dari standar tersebut.
"Di Indonesia, karena sampah itu dikelola oleh daerah, karena masuk otonomi daerah. Maka tidak semua daerah itu punya anggaran yang sama. Sehingga rata-rata anggaran pengelolaan sampah di Indonesia itu US$ 6/orang/tahun," jelasnya.
"Karena memang banyak permasalahan sampah di kita. Jadi ada kan gapnya. Nah misinya ini untuk membenahi itu dengan langkah-langkah mengundang investor mau ikut membantu. Jadi itu salah satu cara untuk menangani masalah sampah," tukasnya. (dna/dna)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 