Kondisi ini menjadi pertanyaan lantaran Pertamina sendiri merupakan perusahaan tambang yang salah satu fokus bisnisnya adalah melakukan pengeboran minyak dan gas.
Harusnya, Pertamina diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia karena bisa menjual minyak yang diproduksinya dengan harga yang lebih tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebabnya adalah peningkatan beban operasi akibat kenaikan harga minyak karena Pertamina banyak mengimpor minyak dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan minyak nasional.
"Iya, Pertamina itu impornya dua, minyak mentah sama barang jadi. Memang kita menghasilkan cuma masih kurang," kata VP Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito, di Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Ketergantungan terhadap minyak mentah impor membuat kenaikan pada harga minyak dunia langsung memberi dampak negatif bagi keuangan perusahaan. Perlu diketahui, kenaikan harga minyak rata-rata sebesar 30% hingga kuartal III 2017 ini.
Tak berhenti sampai di situ, saat ini Pertamina juga punya tanggung jawab menjaga stabilitas harga bahan bakar minya (BBM). Pemerintah mengamanatkan agar Pertamina tak menaikkan harga jual BBM hingga akhir tahun.
Harag minyak yang tinggi, ditambah tugas tak menaikkan harga BBM menjadi kombinasi yang membuat kinerja Pertamina tak bisa melaju optimal.
"Jadi kalau kita lihat, harga crude Indonesia price (ICP) rata-rata sembilan bulan di 2016 itu hampir US$ 38 miliar atau US$ 37,88 miliar. Rata-rata sembilan bulan di 2017 hampir naik 30%," kata Direktur Utama PT Pertamina, Elia Massa Manik.
"Cost kita naik 30%, bahan baku naik, maka kenaikannya hampir 27%. Tentu harga naik ini, kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan. Kalau sesuai formula, revenue kita US$ 32,8 miliar. Karena enggak disesuaikan maka kita hanya dapat US$ 31,38 miliar. Jadi kita kekurangan revenue karena harga enggak disesuaikan," tandas dia. (eds/dna)











































