Tujuannya, selain harga BBM bisa terjangkau, juga terjamin keberlanjutannya.
Distribusi BBM selama ini terkendala kondisi geografis Indonesia yang memiliki 17.504 pulau yang dikelilingi perairan dengan ragam relief daratan yang tak beraturan, baik dataran tinggi, maupun dataran rendah. Akses jalan dan infrastruktur yang belum memadai, menjadi tantangan dalam mewujudkan pemerataan energi hingga pelosok negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak Oktober 2016, Pertamina sudah merealisasikan program BBM Satu Harga di Papua. Kesuksesan tersebut, dilanjutkan menjadi program BBM Satu Harga Nasional melalui Permen ESDM no 36 Tahun 2016 Tentang Percepatan BBM Satu Harga, Pertamina ikut berkontribusi dalam mewujudkan energi berkeadilan.
Sebanyak 150 lokasi BBM Satu Harga ditetapkan, dan harus terealisasi dalam waktu 3 tahun dari 2017 β 2019. Terdiri dari 54 titik pada 2017, 50 titik pada 2018, dan 46 titik pada 2019. Estimasi penyaluran BBM di daerah-daerah target program BBM Satu Harga akan mencapai sekitar 215 ribu kiloliter (KL) pada 2017, dan menjadi 580 ribu KL pada 2019. Hingga 27 November 2017, BBM Satu Harga telah menjangkau 29 titik. Sisanya 25 titik diharapkan tuntas pada akhir tahun ini.
Direktur Pemasaran Pertamina, M. Iskandar menyatakan, Pertamina terus bergerak menyelesaikan pembangunan beberapa lembaga penyalur yang telah memasuki tahap finishing. Untuk merealisasikannya, perlu proses yang cermat. Bukan hanya mengandalkan pembangunan fisik lembaga penyalur, namun perlu memperhitungkan berbagai aspek seperti pemetaan lokasi, perizinan, pencarian mitra, akses distribusi, dan kesiapan infrastruktur pendukung.
Sebagai contoh untuk mendistribusikan BBM di Kecamatan Paloh, Kabupatan Sambas, Kalimantan Barat, Pertamina harus mengirim BBM dari Terminal BBM Pontianak yang berjarak 260 kilometer dengan waktu tempuh hingga delapan jam. Medan pendistribusian masih berupa aspal kasar dan tanah, membuat perjalanan sulit ditempuh oleh truk tangki Pertamina dan berpotensi terperosok terutama dalam kondisi hujan.
Truk tangki juga harus menyeberang sungai menggunakan kapal feri yang harus disewa khusus sehingga biaya angkut BBM per liter menjadi tinggi. Satu kali perjalanan, truk tangki dapat memuat 8.000 liter BBM. Di Papua pengiriman BBM dilakukan dengan moda transportasi udara dengan biaya kisaran Rp 5.000-Rp 30.00/liter.
"Namanya penugasan, kami tidak melihat biaya distribusi sebagai beban. Tetapi ini adalah amanat pemerintah yang harus kami realisasikan," kata Iskandar.
Untuk mewujudkan ketersediaan energi, Pertamina harus merogoh kocek sekitar Rp 800-Rp 1 triliun per tahun. Namun Iskandar menggarisbawahi, meski perlu biaya besar, namun perlu dilihat dari efek perekonomian di lokasi sasaran yang makin bergeliat.
Penyebaran BBM Satu Harga yang telah terealiasi 11 titik di Papua dan Papua Barat, 5 titik di Kalimantan, 3 di Sulawesi, 3 di Maluku, 2 di Sumatera, 2 di Jawa dan 3 titik di Bali, NTB serta NTT.
Kini ketika Pertamina berkomitmen mewujudkan energi berkeadilan melalui BBM Satu Harga, menurut Iskandar, sudah seharusnya semua pihak memiliki semangat yang sama, agar BBM Satu Harga terdistribusi secara tepat sasaran dan memberikan efek positif bagi masyarakat. Tentunya perlu dukungan berbagai pihak, agar energi yang ditujukan bagi masyarakat di wilayah 3T tidak tercederai oleh ulah sekelompok oknum untuk mendapatkan keuntungan semata. (ega/hns)











































