Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PLN 2017, harga batu bara dipatok US$ 63 per metrik ton, tapi realisasinya harga batu bara US$ 80 per metrik ton.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran, mengungkapkan pemerintah perlu mengatur harga keekonomian batu bara dalam negeri agar harga setrum yang diproduksi PLN bisa terjaga tanpa mengalami kenaikan tarif. Harga listrik yang efisien, tentunya jadi stimulus pertumbuhan ekonomi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, menjaga harga batu bara DMO untuk pembangkit di dalam negeri bukan perkara untung rugi PLN, melainkan jadi upaya pemerintah meningkatkan daya saing industri di dalam negeri. Ini lantaran menaikkan tarif listrik dan opsi mengucurkan subsidi untuk PLN kurang relevan.
"Harapannya dengan listrik yang ekonomis, daya saing bisa kuat. Bukan soal PLN, tapi ini masalah bangsa, PLN hanya pelaksana. Kalau kompetitif, investasi bisa masuk, infrastruktur yang terbangun bisa didukung, industri dan bisnis bisa terbantu, rumah tangga tak mampu bisa dapat listrik murah, negara bisa dapat lebih banyak daripada hanya dari pajak (penjualan batu bara)," ujar Tumiran.
Diungkapkannya, harga keekonomian juga tak lantas merugikan pengusaha batu bara. Sambung dia, batu bara adalah milik negara sehingga penggunaannya harus bisa dirasakan rakyat.
"Batu bara yang punya negara, pengusaha dapat konsesi mengelola. Artinya harus digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Kebutuhan domestik juga hanya sekitar 25%, sisanya diekspor, harus punya komitmen bersama. Harga batu bara juga ditetapkan berkeadilan, pengusaha masih bisa sustain, PLN tidak rugi, pelaku bisnis bisa menikmati listrik yang kompetitif," kata Tumiran.
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menuturkan ada dua opsi yang bisa diambil ketika harga batu bara naik, yakni mengendalikan harga energi primer dan menaikkan tarif listrik. Sekaligus berupaya mengefisiensi listrik dari sumber lainnya.
"Pemerintah mulai sekarang perlu putuskan skenarionya. Termasuk juga perlu dilakukan renegosiasi kontrak harga dengan pembangkit listrik swasta, khususnya yang sudah balik modal. Ini kan juga buat listrik mahal," ungkap Fabby.
Lanjut dia, kenaikan harga batu bara sendiri sebenarnya berlangsung sementara. Ini karena adanya lonjakan permintaan ekspor batu bara, terutama dari China, karena datangnya musim dingin. Kemudian, pasokan gas juga relatif berkurang.
"Sifatnya periodik. Kenaikan batu bara ini seharusnya juga menjadi pendorong percepatan energi terbarukan. Itu solusi jangka panjang, mahal di awal tapi pasokan energi terjamin karena tidak terpengaruh komoditas. Sekarang, lebih dari 55% pembangkit PLN masih pakai batu bara," jelas Fabby.
Sementara itu, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan idealnya pemerintah memasukkan HBA (Harga Acuan Batu bara) dalam struktur tarif listrik menggantikan ICP (Indonesian Crude Price)
"Bahkan pemerintah Indonesia harus berani melakukan moratorium ekspor batu bara, atau bahkan menghentikannya. Pasalnya, cadangan batu bara Indonesia hanya 2% dari cadangan dunia, tetapi menjadi eksportir terbesar di dunia," ucap Tulus.
Tulus menjelaskan, perlu pengendalian ekspor batu bara dan memprioritaskannya untuk kebutuhan di dalam negeri.
"China dan India yang cadangan batu baranya terbesar di dunia, tidak melakukan ekspor batu bara. China justru mengimpor batu bara dari Indonesia, dengan kualitas kalori yang lebih baik. Sedangkan pembangkit listrik di Indonesia justru dipasok dengan batu bara muda, dengan kandungan kalori yang rendah. Pemerintah Indonesia harus mengutamakan pasokan batu bara untuk kebutuhan nasional, bukan untuk kebutuhan internasional," pungkasnya.
Sebagai informasi, harga batu bara mengutip keterangan Kementerian ESDM, HBA untuk bulan Februari 2018 ditetapkan sebesar US$ 100,69 per ton atau naik US$ 5,15 dibandingkan HBA bulan Januari yang mencapai US$ 95,54. (idr/ang)