Sebelumnya masyarakat yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan ini sulit mengisi daya baterai Global Positioning System (GPS) untuk melaut. Sebab penyediaan listrik per harinya dibatasi hingga enam jam saja.
Listrik tersebut berasal dari pembangkit listrik tenaga diesel. Sehingga listrik kala itu bergantung dari solar yang mesti di dapat dari luar pulau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Provincial Programme Officer ESP3 Muhammad Nurhadi mengatakan pada dasarnya pembangkit listrik tersebut telah lama diidam-idamkan oleh masyarakat setempat sehingga pembangunan tersebut sangat didukung.
Walaupun begitu, membuat proyek tersebut penuh dengan perjuangan. Pasalnya, bio solar atau panel matahari tersebut mesti didatangkan dari China.
Sehingga pengiriman menuju kepulauan di Karimunjawa membutuhkan kesabaran. Ditambah lagi, kondisi cuaca yang buruk juga ikut merusak panel surya.
Pasalnya, panel surya tersebut dibawa menggunakan jalur laut di mana kondisi ombak kala itu cukup kencang sehingga membuat kapal terombang-ambing.
"Itu kan impor dari China, sampai tiba di pelabuhan Semarang lalu di situ cuaca buruk jadi sampai di sini ternyata ada beberapa yang lecet, rusak," kata dia kepada detikFinance, Selasa malam (7/8/2018).
"Itu gara-gara ombak jadi waktu itu musim angin Barat, bulan Desember kan banyak angin gelombang jadi terombang-ambing," kata dia.
Namun, kerusakan tersebut tidak membuat proyek tersebut gagal. Sebab dengan segera kontarktor proyek yakni PT Contained Energy menyiapkan asuransi.
"Sudah disiapkan asuransi untuk in case waktu itu. Jadi nggak ganggu proyek juga sih," jelasnya.
Hal tersebut terbayang ketika detikFinance berkesempatan meninjau langsung PLTS di Pulau Ginting. Pasanya perjalanan menuju kepulauan Karimunjawa benar-benar penuh dengan serbuan ombak.
Perjalanan dimulai dari Jepara, menggunakan kapal ferry menuju Karimunjawa dan membutuhkan waktu selama dua jam. Belum lagi menuju pulau Ginting yang memakan waktu hingga 45 menit ditambah dengan guncangan ombak yang cukup besar.
Selain itu, ia juga memaparkan masalah lainnya, yakni kondisi kepulauan tersebut membuat sulitnya akses alat berat. Misalnya untuk perataan tanah di lahan proyek PLTS tersebut.
Akhirnya, tim mesti meratakan tanah secara manual menggunakan cangkul. Hal itu dilakukan selama satu bulan lamanya.
"Ada juga masalah itu di Pulau Nyamuk tanahnya miring. Kalau miring kan nggak bagus sinar mataharinya jadi mesti diratain tapi kan ini susah ya akses untuk alat berat kontraktor jadi kita manual pakai cangkul," ungkap dia.
Adapun, proyek tersebut dipasang di tiga pulau, yakni Parang, Nyamuk dan Genting berkat kerjasama Indonesia dengan Kedutaan Besar Denmark melalui ESP3 dan Kementerian ESDM.
![]() |
Tonton juga video: 'PLN Ajak Milenial Lihat Perjuangan Melistriki Pedalaman'