Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan, pengusaha berupaya membangun smelter untuk mengikuti program hilirisasi pemerintah. Untuk membangun smelter, pengusaha mengandalkan pembiayaan lewat ekspor.
Ekspor sesuai ketentuan ditargetkan pada tahun 2022. Jika dipercepat, katanya, pengusaha tak bisa menutup pembiayaan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia bilang, pengusaha memilih untuk ekspor karena harganya lebih menguntungkan. Sebutnya, untuk 1 ton nikel kadar rendah 1,7% bisa dihargai US$ 35.
"Kuota ekspor 1,7% itu low grade semua. Harga ekspor lebih manusia. 1,7% itu bisa US$ 35," terangnya.
Lanjutnya, saat ini banyak pengusaha yang telah membangun smelter. Tambahnya, jika pemerintah tetap berniat mempercepat larangan ekspor maka banyak pengusaha tambang yang akan gulung tikar.
"Ada 20 lebih progres (smelter), pembangunannya progres dan itu diverifikasi. Dan itu setiap 6 bulan pemerintah turun, mereka turun langsung," ujarnya.
"Kalau ini berhenti tengah jalan 2019 pengusaha lokal mati semua, dampaknya banyak. Kalau ekspor ore 1,7% sisihkan US$ 5 aja. Cukup. Memang nggak cover 100%," terangnya.
(ara/ara)