Presiden Joko Widodo (Jokowi) bilang tiga opsi tersebut yang pertama menghilangkan porsi pemerintah sebesar US$ 2,2 per MMBTU (Million Metric British Thermal Unit) pada struktur harga gas industri. Kedua, melaksanakan domestic market obligation (DMO) demi menjaga alokasi gas industri. Ketiga, membuka keran impor gas industri dengan bebas.
"Itu dikaji sampai bulan Maret," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nantinya dari tiga opsi itu dipilih salah satu dan akan diterapkan demi menurunkan harga gas industri. Airlangga mengatakan penurunan harga gas industri dipatok US$ 6 per MMBTU atau sesuai dengan yang berlaku pada Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi. Nantinya juga harga tersebut akan berlaku secara nasional.
Sementara itu, Seskab Pramono Anung mengatakan tingginya harga gas industri dikarenakan peran middle man terlalu banyak. Padahal harga gas industri di hulu sudah tinggi.
"Tentunya di hulunya sendiri sudah mahal. Kedua, midle man-nya banyak, maka Presiden memerintahkan itu untuk dipangkas dan opsi tadi sudah disampaikan Presiden secara terbuka, ada 3 opsi. Maka sekarang konsentrasinya adalah bagaimana bisa diturunkan menjadi US$ 6 per MMBTU pada kuartal I-2020," jelas Pramono.
Selanjutnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan ketiga opsi yang ditawarkan Presiden Jokowi akan dikaji berdasarkan dampak bagi perekonomian Indonesia. Yang pasti, dikatakan Mantan Bos Pertamina ini bahwa opsi membuka keran impor akan menambah beban bagi neraca perdagangan nasional yang masih tekor.
"Kalau begitu kita izin impor, defisit perdagangan di migas akan nambah, menjadi lebih jelek. Jadi harus dikaji, kompensasinya apa buat defisit," kata Dwi.
Oleh karena itu, dalam tiga bulan ke depan pemerintah akan mengumumkan opsi mana yang akan diambil untuk menurunkan harga gas industri di tanah air.
(hek/dna)