Tekor APBN Bisa Bertambah Rp 12 T karena Harga Minyak Anjlok

Tekor APBN Bisa Bertambah Rp 12 T karena Harga Minyak Anjlok

Hendra Kusuma - detikFinance
Rabu, 22 Apr 2020 08:51 WIB
BUMN percetakan uang, Perum Peruri dibanjiri pesanan cetak uang dari Bank Indonesia (BI). Pihak Peruri mengaku sangat kewalahan untuk memenuhi pesanan uang dari BI yang mencapai miliaran lembar. Seorang petugas tampak merapihkan tumpukan uang di cash center Bank Negara Indonesia Pusat, kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (21/10/2013). (FOTO: Rachman Haryanto/detikFoto)
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memproyeksikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 bertambah sekitar Rp 12,2 triliun akibat anjloknya harga minyak mentah dunia.

Melalui keterangan resminya yang dikutip detikcom, Jakarta, Rabu (22/4/2020), Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Publik BKF Kementerian Keuangan, Endang Larasati mengatakan harga minyak mentah dunia menurun sejak awal tahun karena aktivitas ekonomi global terdampak wabah COVID-19.

Harga minyak terus menurun sejak Senin, 13 April 2020, terutama jenis West Texas Intermediate (WTI) yang disebabkan oleh permintaan global yang semakin menurun dan sentimen negatif yang berasal dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang kontraktif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Harga WTI kontrak Mei sempat berada pada level negatif US$ 37 per barel. Produsen harus segera menyerahkan stok kepada konsumen karena faktor penyimpanan yang terbatas. Namun, hal ini diperkirakan berdampak secara jangka pendek, mengingat harga jual WTI kontrak pada Juni masih berkisar pada US$ 20 per barel.

Harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) saat ini sedikit di atas harga minyak Brent. Perubahan ICP akan berdampak terhadap APBN mengingat baseline asumsi harga ICP dalam Perpres 54 tahun 2020 ialah US$ 38 per barel untuk harga rata-rata sepanjang tahun 2020.

ADVERTISEMENT

Jika harga terus mengalami penurunan, sehingga ICP menjadi US$ 30,9 per barel (rata-rata setahun) maka defisit diperkirakan bertambah Rp 12,2 triliun.

Endang mengatakan, pemerintah terus melakukan pemantauan untuk melakukan kebijakan antisipatif termasuk pengendalian defisit, salah satunya melalui evaluasi atas belanja non-produktif, dan mengambil langkah-langkah mitigasi untuk menjaga kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi.

Perpres Nomor 54 Tahun 2020 merupakan aturan turunan yang melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan Covid-19 serta menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional serta sistem keuangan.

Dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020, pemerintah melebarkan defisit anggaran menjadi Rp 852,9 triliun atau setara 5,07% terhadap PDB dari yang sebelumnya hanya sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76% dari PDB.

Pelebaran defisit dikarenakan pemerintah mengubah target penerimaan negara menjadi Rp 1.760,9 triliun dari sebelumnya Rp 2.233,2 triliun. Target itu terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.462,6 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 297,8 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp 500 miliar.

Di satu sisi, dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020 ini juga pemerintah mengubah target belanja negara menjadi Rp 2.613,8 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 2.540,4 triliun. Anggaran belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.596 triliun dan TKDD sebesar Rp 762,7 triliun. Pemerintah juga menambah pos belanja khusus untuk penanganan COVID-19 sebesar Rp 255,1 triliun.



Simak Video "Sri Mulyani: Defisit APBN Masih Terkendali"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads