Ada Revisi UU Nuklir di Omnibus Law Cipta Kerja, Apa Isinya?

Ada Revisi UU Nuklir di Omnibus Law Cipta Kerja, Apa Isinya?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Rabu, 07 Okt 2020 17:05 WIB
FESSENHEIM, FRANCE - JUNE 29: The Fessenheim nuclear power plant pictured on June 29, 2020 in Fessenheim, France. Anti-nuclear activists gathered together for the 480th picket on the Rhine bridge Breisach-Vogelrun on the German/French border  to celebrate its closure. The plant, operated by French utility EDF, is scheduled to cease operation tonight. Completed in 1977 on a canal next to the Rhine River, and close to the border with Germany, Fessenheim is Frances oldest operational nuclear power plant and has long been the ire of anti-nuclear activists. (Photo by Thomas Lohnes/Getty Images)
Foto: Getty Images/Thomas Lohnes
Jakarta -

Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja juga mencakup perubahan atau revisi UU nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Ada beberapa poin utama yang berubah cukup signifikan dalam UU Cipta Kerja, salah satunya pengurangan pidana kurungan penjara bagi narapidana hingga 5 tahun.

Revisi UU nomor 10 tahun 1997 itu tercantum dalam paragraf 6 halaman 220 sampai 223 dalam dokumen UU Cipta Kerja. Dalam berkas UU Cipta Kerja yang dikutip detikcom, Rabu (7/10/2020), tujuan perubahan itu ialah untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Ketenaganukliran,.

Pasal-pasal yang diubah sebanyak 10 pasal. Ketentuan mengenai pidana itu tercantum dalam pasal 41 yang diperuntukkan kepada siapa saja yang membangun, mengoperasikan, memanfaatkan, dan/atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa Perizinan Berusaha.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di pasal 41 ayat (1) yang diubah dalam UU Cipta Kerja, pidana yang diberikan adalah paling lama 10 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp 10 miliar. Sementara, dalam pasal 41 ayat (1) UU 10/1997 tindak pidana yang diberikan ialah paling lama 15 tahun dengan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Lalu, di pasal 41 ayat (2) yang diubah dalam UU Cipta Kerja, bagi siapa saja yang membangun, mengoperasikan, memanfaatkan, dan/atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa Perizinan Berusaha yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana paling lama 15 tahun penjara, dengan denda paling banyak Rp 20 miliar. Sementara dalam pasal 41 ayat (1) UU 10/1997 tindak pidana yang diberikan ialah paling lama 20 tahun dengan denda paling banyak Rp 1 miliar.

ADVERTISEMENT

Sehingga, dalam UU Cipta Kerja ada pengurangan lama kurungan penjara hingga 5 tahun, namun ada kenaikan dalam pengenaan denda. Namun, ketentuan pasal 43 ayat (2) dalam UU 10/1997 di UU Cipta Kerja tak diubah. Isinya ialah pemberian pidana tambahan bagi narapidana yang tak mampu membayar denda paling lama 1 tahun.

Selain pasal itu, ada juga perubahan di pasal 2 UU 10/1997. Di UU Cipta Kerja, pemerintah menyisipkan pasal baru, yakni pasal 2A yang berbunyi: "Pemerintah Pusat berwenang memberikan Perizinan Berusaha terkait ketenaganukliran."

Sementara, di UU nomor 10/1997 pasal 2 hanya berbunyi:
Ayat (1): Bahan nuklir terdiri atas:
a. bahan galian nuklir
b. bahan bakar nuklir,
c. bahan bakar nuklir bekas

Ayat (2): Bahan nuklir dikuasai oleh Negara dan Pemanfaatannya diatur dan diawasi oleh pemerintah.

Lanjut ke halaman berikutnya

Dalam UU sebelumnya, tak ada penekanan pemerintah pusat dalam pasal 2 itu, tetapi hanyalah 'pemerintah'. Namun, di UU Cipta Kerja pemerintah menambahkan pasal 2A yang menekankan perizinan berusaha adalah wewenang pemerintah pusat.

Lalu, revisi UU 10/997 juga terjadi di pasal 4. Sama dengan pasal 2, perubahan yang dilakukan pemerintah ialah menambahkan kata pusat untuk penekanan pemerintah pusat. Berikut bunyi pasal 4-paragraf 6 di UU Cipta Kerja:

Ayat (1): Pemerintah Pusat membentuk Badan Pengawas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir.

Revisi juga dilakukan di pasal 9 UU 10/1997. Dalam UU Cipta Kerja, tepatnya di pasal 9 ayat (1), ditekankan bahan galian nuklir dikuasai oleh negara. Sementara, di UU 10/1997 berbunyi: "Penyelidikan umum, eksplorasi, dan eksploitasi bahan galian nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana."

Di pasal 9 ayat (2) juga terjadi revisi menjadi: "Pemerintah Pusat menetapkan wilayah usaha pertambangan Bahan Galian Nuklir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.". Sementara,pasal 9 ayat (2) UU 10/1997 hanya berbunyi: "Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, koperasi, badan swasta dan/atau badan lain."

Lalu, pemerintah menambahkan 1 ayat di pasal 9, yakni ayat (3) yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai bahan galian nuklir diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya, pemerintah menambahkan pasal 9A yang mengatur ketentuan pemerintah menetapkan badan usaha untuk kegiatan pertambangan Bahan Galian Nuklir. Kedua, kegiatan pertambangan dapat dilakukan oleh BUMN yang bekerja sama dengan badan swasta. Ketiga, dan isaja wajib memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat. Keempat, pertambangan bahan galian nuklir termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif.

Kelima, Badan usaha terkait pertambangan mineral dan batubara yang menghasilkan mineral radioaktif wajib memiliki Perizinan Berusaha dari pemerintah pusat. Keenam, perseorangan atau korporasi yang menemukan mineral ikutan radioaktif wajib mengalihkan negara atau BUMN sesuai ketentuan Peraturan Perundangan selama pandemi.

Lanjut ke halaman berikutnya

Sementara itu, ketentuan pasal 10 dihapus, yang dalam UU 10/1997 berbunyi:
Ayat (1): "Produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan bakar nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana."
Ayat (2): "Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Koperasi, dan/atau badan swasta."

Lalu, pasal 17 juga diubah dalam UU Cipta Kerja. Dalam pasal 17 ayat (1) di UU Cipta Kerja dituliskan setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat, kecuali dalam hal tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sementara, di pasal 17 ayat (1) UU 10/1997 hanya berbunyi: "Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

Di pasal 17 ayat (2) dan (3) juga diubah menjadi berbunyi:
Ayat (2): "Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat."
Ayat (3): "Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah."

Lalu, ketentuan pasal 18 dihapus dalam UU Cipta Kerja. Sementara, di UU 10/1997 ketentuan pasal 18 ialah biaya bagi izin usaha yang berbunyi:
Ayat (1): "Setiap izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan biaya."
Ayat (2): "Besar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."

Selanjutnya, pasal 20 ayat (1) juga diubah dari UU 10/1997 menjadi berbunyi:
Ayat (1): "Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat."

Perubahan terakhir ialah di pasal 25 ayat (1) menjadi berbunyi:
Ayat (1): "Pemerintah Pusat menyediakan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi."



Simak Video "Video: Kementerian Kebudayaan Minta DPR Dukung Pembuatan RUU Omnibus Law"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads