Indonesia dinilai memiliki potensi lebih dalam meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT). Indonesia sendiri menargetkan bauran EBT 23% ke dalam produksi energi sebelum 2025, sedangkan Korea Selatan berencana memperbesar porsi sumber produksi listrik dari energi terbarukan sebanyak 20% sebelum 2030.
Climate Policy Initiative (CPI) dalam laporan terbarunya menganalisis adanya kesempatan di balik stimulus fiskal COVID-19 dalam menggapai target energi bersih dan transisi energi.
Associate Director di CPI Tiza Mafira mengungkapkan dalam laporannya ini merupakan perpanjangan dari studi CPI yang bertujuan untuk mengukur kontribusi pemulihan ekonomi di kelima ekonomi terbesar di Asia terhadap target iklim di masing-masing negara tersebut. Adapun, hasil studi menemukan kemiripan antara dampak COVID-19 terhadap sektor energi di Indonesia dan Korea Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesamaan dampak yang dirasakan kedua negara yakni penurunan konsumsi listrik di sektor industri dan komersial, serta kenaikan permintaan listrik sektor rumah tangga sebagai dampak dari protokol pencegahan COVID-19.
"Meskipun begitu, konsumsi energi di sektor industri dan komersial diproyeksikan untuk kembali seperti biasanya sampai pandemi dapat tertangani dengan baik di kedua negara," kata Tiza dikutip dari keterangan resmi, Rabu (9/6/2021).
Tiza melanjutkan, laporan tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia dan Korea Selatan memiliki respon penanganan COVID-19 yang mirip dari sisi penanganan darurat kesehatan serta menunjang masyarakat dan bisnis yang rentan.
Namun, Korea Selatan berhasil memanfaatkan peluang tersebut untuk lebih dari penanganan darurat kesehatan, tetapi juga memanfaatkan momentum rehabilitasi ekonomi dalam memperbaiki iklim dan lingkungan melalui Green New Deal (GND).
Sebaliknya, stimulus fiskal Indonesia atau Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dinilai belum mempertegas tujuannya dalam bidang perbaikan lingkungan.
Lanjut halaman berikutnya.