Jakarta -
Saat ini pemerintah termasuk BUMN penyedia listrik, akan menggunakan teknologi Co-Firing untuk mengolah sampah sekaligus mendorong kontribusi pasokan energi terbarukan.
Faktanya mengolah sampah menjadi bahan bakar yang berkualitas tidaklah sederhana.
Saat ini sejak tahun 1970an teknologi ini diperkenalkan, Amerika Serikat hanya menyisakan sedikit boiler dengan metode co-firing.
Co-Firing adalah upaya mensubstitusi batu-bara dengan bahan bakar alternatif, yaitu sawdust, cangkang sawit, eceng gondok, dan yang dianggap paling kontroversial yaitu produk turunan sampah atau refused derived fuel (RDF).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pakar dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna mengatakan, pemerintah saat ini terbelenggu komitmen investasi PLTU Batubara dalam jangka panjang, dan metode Co-Firing di kemas sebagai solusi cepat permasalahan.
"Produsen tidak akan mampu memproduksi sampah menjadi refuse derived fuel (RDF) untuk bahan bakar tanpa harga yang memadai," kata dia ketika dihubungi wartawan, Rabu (4/8/2021).
Menurut dia, ada kelemahan teknologi co-firing seperti ada batasan kualitas dan kuantitas yang spesifik untuk penggunaan di PLTU. Kualitas bahan bakar Co-firing yang buruk dapat menurunkan performa PLTU, sementara untuk kualitas yang baik harganya akan lebih mahal dari batubara karena membutuhkan investasi peralatan yang berteknologi tinggi.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Pembangkit listrik batubara sebagai sasaran penyerapan RDF sudah dirancang dengan tipe bahan bakar yang spesifik batu-bara untuk PLTU. Memasukkan sampah ke dalam ruang bakarnya tentunya memerlukan kualitas yang tidak sembarangan, yang artinya membuat sampahnya harus diolah supaya memiliki sifat dan kualitas yang mirip dengan batubara.
Untuk penyelesaian masalah sampah, kata dia, salah satu opsi penyelesaian adalah dengan teknologi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL), dengan catatan ada pengendalian baku emisi yang juga ketat. Jumlah sampah yang dapat diolah dan metode pengolahan sampah sangatlah berbeda antara PSEL dan Co-firing.
"Meskipun Co-firing banyak diklaim menjanjikan untuk menanggulangi masalah sampah perkotaaan namun kita harus berbicara skala. Rencana pembangunan PSEL Tangerang contohnya direncanakan akan mengolah 2000-ton sampah per hari sementara Co-firing masih jauh dari terbukti untuk mampu menangani sampah sampah dalam jumlah besar," katanya.
Beberapa tantangannya, lanjut dia, adalah pengolahan sampah menjadi RDF yang kompleks, mahal dan membutuhkan lahan yang cukup luas. Sebagai contoh, penggunaan sampah sebagai RDF terbesar untuk pembakaran di sebuah pabrik semen di Cilacap hanya dapat menyerap 140-ton sampah per hari. Itupun hanya 50-ton yang masuk ke pembakaran pabrik.
"Meski sebagiannya adalah kandungan air yang menguap, bagaimana dengan sisanya? Belum lagi kita berbicara bagaimana mendapatkan lahan pengolahan sampah di daerah perkotaaan. Co-firing harus bisa teruji dalam skala kota dulu, sebelum dapat dijanjikan sebagai solusi, dan saat ini PSEL menjadi salah satu opsinya. Menghambat program PSEL tanpa membuktikan kehandalan Co-firing sangat bisa jadi hanya akan menunda masalah dan memperburuk situasi penanganan sampah perkotaan," Tutup Putera.