Dapat dipastikan tahun depan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan dikenakan pajak karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Sebab telah disepakatinya pembuatan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam draf RUU HPP sebelumnya telah dituangkan bahwa tarif pajak karbon nantinya akan diterapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
"Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp 30 per kilogram dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara," bunyi draf tersebut dalam Bab VI Pasal 13 ayat (9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu apa dampaknya buat kehidupan masyarakat secara umum?
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menjelaskan, pajak karbon nantinya akan dibebani kepada perusahaan produsen listrik atau Independent Power Producer (IPP).
"Dengan begitu berarti biaya pokok produksinya akan naik," tuturnya saat dihubungi detikcom, Jumat (8/10/2021).
Jika biaya produksi IPP naik, maka mereka akan membebani juga kepada pihak pembeli listrik yakni PLN. Dengan begitu biaya yang harus dikeluarkan PLN juga akan lebih besar.
Menurut Mamit, PLN juga tidak akan sanggup menahan tambahan beban tersebut. Jika PLN sudah tak sanggup, maka kemungkinannya ada dua, meminta bantuan pemerintah melalui subsidi atau membebaninya ke masyarakat dengan menaikan tarif dasar listrik.
"Pilihannya dua nanti, yang pertama kalau pemerintah mau mensubsidi berarti ada penambahan subsidi akibat dari pada pajak karbon ini. Yang kedua kalau memang akhirnya benar-benar memberatkan kemungkinan akan ada kenaikan tarif dasar listrik," ucapnya
Kenaikan tarif dasar listrik menurutnya kemungkinan besar yang akan terjadi. Sebab sejak 2017 juga belum ada kenaikan tarif dasar listrik yang dilakukan.
Sementara sebelumnya Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pungutan atas emisi karbon memiliki efek berganda yang signifikan, termasuk risiko tergerusnya daya beli masyarakat karena harga jual beberapa barang yang dikenai pajak menjadi lebih mahal.
"Pemulihan ekonomi pasca-COVID-19 memerlukan waktu lama sampai. Jadi kalau ekonomi baru mau pulih lalu dihajar dengan pajak pemulihannya bisa terhambat," ucapnya.
Pajak karbon akan dikenakan kepada produsen atau menyasar sisi produksi. Kebijakan ini memiliki konsekuensi berupa meningkatnya ongkos produksi sejumlah produk manufaktur.
Sejalan dengan itu, maka produsen akan membebankan pajak tersebut kepada konsumen dengan mengerek harga jual barang. Artinya, masyarakat menjadi pihak terakhir yang harus menanggung beban pajak karbon tersebut.
(das/dna)