RI Cetak Sejarah Terbangkan Pesawat Berbahan Bakar Campuran Minyak Sawit

RI Cetak Sejarah Terbangkan Pesawat Berbahan Bakar Campuran Minyak Sawit

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Senin, 25 Okt 2021 20:43 WIB
Uji Coba Avtur Campur Sawit
Foto: Uji Coba Avtur Campur Sawit (Fauzan Kamil/tim infografis detikcom)
Jakarta -

Perubahan iklim telah menjadi ancaman yang nyata bagi dunia. Naiknya suhu permukaan bumi memicu timbulnya berbagai bencana yang berdampak pada kelangsungan hidup manusia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan berkali-kali mewanti-wanti dampak yang begitu mengerikan dari perubahan iklim ini. Dia bilang, ancaman perubahan iklim ini menghantui Indonesia saat berumur 100 tahun di 2045.

"Kalau tahun 2040-2050 dunia tidak mampu menciptakan pembangunan dengan net zero emission, maka dunia akan mengalami suhu temperatur yang naik dan itu dampaknya sudah mulai dirasakan dari sekarang," katanya dalam acara Peluncuran Buku Indonesia 2045 pada 20 Agustus 2021 lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Sri Mulyani mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan akan menerima dampak yang luar biasa, mulai dari kebakaran hutan hingga banjir.

"Indonesia sebagai negara kepulauan ancaman ini sangat nyata. Dalam laporan IPCC mengenai dampak climate change di south east Asia, Indonesia jadi salah satu negara yang dilihat akan mengalami dampak luar biasa dari mulai pemanasan yang bisa menjadi kebakaran hutan, hingga banjir yang bisa melanda kota-kota di Indonesia termasuk dalam hal ini kenaikan permukaan laut," bebernya.

ADVERTISEMENT

Maka itu, perubahan iklim ini harus menjadi perhatian serius semua pihak. Di Indonesia sendiri, berbagai upaya tengah dilakukan untuk mengurangi emisi sebagai pemicu peningkatan suhu bumi yang diakibatkan oleh gas rumah kaca. Salah satunya, melalui transisi menuju energi yang lebih hijau.

Transisi menuju energi hijau ini salah satunya dilakukan pada sektor transportasi melalui pemanfaatan bahan bakar campuran minyak sawit. Pemanfaatan bahan bakar campuran ini sendiri memperoleh rekor tersendiri usai uji terbang pesawat CN235-200 FTB milik PT Dirgantara Indonesia (Persero) atau PTDI dengan bioavtur 2,4% atau J2.4 berjalan sukses. Lalu, bagaimana perjalanan mendorong energi terbarukan ini?

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, salah satu upaya mendorong percepatan energi hijau ini adalah dengan melakukan subtitusi energi primer pada teknologi yang ada. Pihaknya pun telah mengeluarkan regulasi untuk mendorong pemanfaatan sumber energi nabati melalui ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Lewat aturan ini, pemerintah mewajibkan pencampuran bakar bakar nabati ke dalam avtur dengan persentasi 3% pada tahun 2020. Lalu, porsinya ditingkatkan lagi menjadi 5% di tahun 2025.

Tes ground run bioavtur ke pesawat CN-235Tes ground run bioavtur ke pesawat CN-235 Foto: Dok. Kementerian ESDM

Lantas, dia pun mengatakan, kesuksesan uji terbang pesawat dengan bahan bakar campuran minyak nabati ini merupakan sejarah baru bagi Indonesia.

"Jadi kilang Pertamina sudah berhasil memproduksi bioavtur dengan persentase 2,4% dan produknya dikenal J2.4. Selanjutnya tadi telah disampaikan serangkaian uji coba teknis dilakukan pada tanggal 8-10 September 2021, dan hari ini kita telah melihat sejarah baru yaitu penerbangan perdana yang menggunakan bahan bakar nabati yang memang kita tunggu selama ini," paparnya dalam Seremoni Keberhasilan Uji Terbang Pesawat CN235 Campuran Bahan Bakar Bioavtur 2,4% pada 6 Oktober 2021.

"Dan hari ini, tadi pagi telah dicoba jarak Bandung dan Jakarta penggunaan bahan bakar nabati ini dengan menggunakan CN235 FTB," tambahnya.

Bioavtur sendiri dihasilkan melalui bahan baku minyak inti kelapa sawit atau Refined, Bleached and Deodorized Palm Kernel Oil (RDBPKO) dengan avtur fosil. Perjalanan panjang telah dilewati Pertamina untuk menghasilkan bioavtur ini.

Sejak tahun 2018 penelitian intensif skala labratorium telah dilakukan antara PT Pertamina (Persero) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan katalis merah putih. Pengembangan pun dilanjutkan di Kilang Cilacap yang kemudian menghasilkan J2.0 (komposisi nabati 2%) dan berkembang menjadi J2.4.

Titik penting pengembangan bioavtur ini kemudian berlanjut dengan uji terbang yang sebelumnya diawali dengan pelaksanaan ground run. Uji terbang menggunakan pesawat CN235-220 FTB milik PTDI di mana bioavtur 2,4% diisikan pada tangki bahan bakar di sayap pesawat sebelah kanan, sedangkan tangki bahan bakar di sayap pesawat sebelah kiri diisi dengan avtur Jet A1.

Pesawat CN235 berbahan bakar bioavturPesawat CN235 berbahan bakar bioavtur Foto: Dok. PT Dirgantara Indonesia

Uji terbang dilaksanakan pada 8-10 September 2021. Pesawat mengudara dengan ketinggian 10.000 dan 16.000 kaki. Hasilnya, pelaksanaan uji terbang menunjukkan bahwa performa mesin dan indikator-indikator yang terdapat di kokpit menunjukkan kesamaan antara penggunaan bahan bakar Jet A1 dan J2.4.

Namun, keberhasilan uji terbang ini bukanlah titik akhir. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, untuk memproduksi dan melepas produk ini ke pasar perlu dilihat dalam cakupan yang utuh. Menurutnya, ada bahan baku yang tidak dikontrol oleh Pertamina yakni crude palm oil (CPO). Maka itu, ia berharap adanya sebuah kebijakan yang mendukung keberlangsungan dari program ini.

"Kita berharap ini ada suatu kebijakan yang utuh dari hulu ke hilir bagaimana supaya program ini sustain, continue, kalau sekarang 2,4% nanti 5 kemudian 10 nanti bertambah, tentu kita harapkan ada suatu komitmen baik itu volume yang memang dialokasikan untuk bioavtur ini, yang kedua komersialisasi," katanya.

Selain itu, ia juga mengatakan, perlu dilihat pula rencana pemerintah menerapkan pajak karbon pada tahun depan.

"Tentu ada aspek lain yang harus kita lihat, apalagi tahun depan dari Kementerian Keuangan akan menerapkan carbon tax, tentu kita harus lihat ini sebagai suatu mechanism yang bisa kalau kita map-kan dengan harga itu tentu akan berpengaruh ke perekonomian," katanya.

Dari sisi Pertamina, Nicke menuturkan, pihaknya berkomitmen menyiapkan kilang-kilang untuk memproduksi bioavtur ini. Ada dua kilang yang telah disiapkan yakni Kilang Dumai dan Cilacap.

"Komitmen Pertamina, satu adalah, kita harus menyiapkan kilang-kilang Pertamina untuk siap memproduksi bioavtur sesuai dengan regulasi dan juga standar internasional tentunya. Dan kita akan siapkan ada dua, yang siap itu di Kilang Dumai dan di Kilang Cilacap, ini dua yang komitmen kita," papar salah satu wanita paling berpengaruh di dunia tahun 2021 versi Majalah Fortune tersebut.

Uji Coba Avtur Campur SawitUji Coba Avtur Campur Sawit Foto: Uji Coba Avtur Campur Sawit (Fauzan Kamil/tim infografis detikcom)

Kepada detikcom, Pjs SVP Corporate Communications & Investor Relations Pertamina Fajriyah Usman menambahkan, usai sukses dengan menggunakan pesawat CN235, uji terbang akan dilakukan pada pesawat komersial. Sejalan dengan itu, Pertamina juga akan terus melakukan pengembangan pada J5 alias bioavtur 5%.

"Langkah selanjutnya adalah uji terbang dengan pesawat komersial dan dijalankan sertifikasi. Kami juga meneruskan pengembangan ke J5 dan seterusnya," katanya.

Fajriyah mengatakan, sejumlah tes dan pengembangan masih terus dilakukan. Begitu juga terhadap pengembangan teknologi produksi dan penyempurnaan produk.

Lantas, apa pentingnya pengembangan bioavtur ini? Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, Indonesia berkomitmen menjalankan Paris Agreement yakni penurunan gas emisi rumah kaca sebanyak 29% melalui upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.

Di sisi lain, ia menjelaskan, Indonesia menguasai 55% pasar sawit di dunia. Komoditas ini juga dinilai lebih efisien dibanding komoditas pesaing. Selain itu, menurut Airlangga, sawit juga berkontribusi pada perekonomian nasional.

"Kelapa sawit juga berkontribusi untuk pencapaian Sustainable Development Goals dalam penciptaan lapangan kerja, di mana 16 juta tenaga kerja bergantung pada sektor ini. Dan terhadap ekspor berkontribusi 15,6% dan ini juga sebagai sumber energi bersih terbarukan," terangnya.

Airlangga bilang, kebijakan mandatori B30 sendiri telah berkontribusi terhadap penurunan gas rumah kaca sebesar 23,3 juta ton karbondioksida di tahun 2020. Kemudian, berkontribusi pada pengurangan impor solar dan terjadi penghematan devisa sebanyak US$ 8 miliar.

Bagi Airlangga, keberhasilan uji terbang ini merupakan sebuah kebanggaan. Dia menuturkan, Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar memang harus berinovasi termasuk dalam pengembangan bioavtur ini.

"Kita patut bangga bahwa pagi ini kita bisa menyaksikan keberhasilan anak bangsa pembuatan bioavtur atau J2.4 yang telah diujiterbangkan dengan CN235-200 milik PTDI," katanya.

"Indonesia sebagai produsen terbesar tentunya perlu berinovasi terhadap penggunaan minyak kelapa sawit ini termasuk dalam pengembangan biodiesel, biavtur dan juga melanjutkan program D100," tambahnya.

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, pemanfaatan campuran minyak sawit untuk bahan bakar pesawat merupakan salah satu upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pengembangan bioavtur ini penting karena pesawat merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca.

"Ini memang buat saya ke depan menjadi salah satu hal yang penting yang memang patut untuk terus diuji coba dan dikembangkan. Karena sejauh ini avtur salah satu bahan bakar yang memang banyak dipergunakan. Dan pesawat ini juga salah satu yang menyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar juga," katanya kepada detikcom.

Meski demikian, ia memberikan catatan. Mamit bilang, ke depan tata niaga minyak sawit untuk bioavtur ini perlu diatur seperti alokasi untuk pasar dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Jadi, ke depan minyak sawit tidak menjadi beban bagi Pertamina ketika harganya melambung tinggi.

"Termasuk ketersediannya juga. Sekarang kita berlebih karena Uni Eropa masih menolak CPO Indonesia tapi kalau kita lihat pergerakan CPO di satu tahun 2021, ini sudah mengalami kenaikan 75% jika kita bandingkan 2020. Ini yang menjadi pemikiran saya kenapa harus diatur tata niaga untuk CPO ini baik untuk biodisel maupun bioavtur ini," jelasnya.

Kondisi ini menunjukkan pengembangan bioavtur tidak bisa dilakukan sendiri. Komitmen bersama adalah hal yang penting demi mewujudkan bahan bakar yang ramah lingkungan. Tujuannya, tak lain untuk menjaga bumi dan kelangsungan hidup manusia.

(acd/dna)

Hide Ads