Pengusaha batu bara dinilai tetap mendapat keuntungan, meski harga domestic market obligation (DMO) untuk sektor kelistrikan tidak mengalami kenaikan.
Dengan harga DMO batu bara tetap dipatok US$ 70 per ton dan biaya produksi berkisar US$ 39-45 per ton, pengusaha saat ini telah menikmati untung sekitar US$ 3,44 miliar hingga US$ 4,26 miliar dengan asumsi kebutuhan DMO batu bara 137,5 juta ton per tahun pada 2021.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keuntungan ini belum ditambah kenaikan margin yang diperoleh pengusaha seiring dengan meroketnya harga batu bara di pasar internasional yang tembus di atas US$ 170 per ton. Sekedar informasi, saat ini dari total volume produksi batu bara nasional, sekitar 25 persen dijual ke pasar domestik, sementara sebagian besar diekspor.
"Dengan harga batu bara DMO US$ 70 ton, pengusaha enggak rugi, walaupun memang masing-masing wilayah punya tingkat kesulitan yang berbeda, harga US$ 70 per ton ini moderat teman-teman pengusaha tidak mengalami kerugian dan sesuai kemampuan PLN," Kata Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, Senin (27/12/2021).
Baca juga: 3 'Hantu' Gentayangi Ekspor RI di 2022 |
Mamit menjelaskan, jika pada tahun depan pemerintah memutuskan untuk melepas harga DMO, di mana harga batu bara acuan (HBA) pada 2022 dipatok US$ 150 per ton, maka pengusaha mengantongi untung USD 105-111 per ton. Dengan asumsi kebutuhan DMO batu bara 2022 sama dengan tahun ini 137,5 juta ton, maka windfall profit yang bisa diraup pengusaha berkisar US$ 14,43-15,26 miliar.
Sementara di sisi lain, kenaikan harga DMO batu bara bakal mengakibatkan kenaikan biaya pokok produksi (BPP) listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sehingga akan mendongkrak subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung negara.
"Kalau APBN tidak mampu menanggung beban subsidi dan kompensasi, maka kenaikan tarif listrik tak dapat dihindari dan akhirnya rakyat jadi korban," ungkap Mamit.
Lanjut halaman berikutnya.