Pemerintah melarang ekspor batu bara selama periode 1-31 Januari 2022 akibat terjadi krisis di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT PLN (Persero) dan perusahaan pembangkit independen (independent power producer/IPP). Padahal Indonesia kaya batu bara, kok bisa kekurangan pasokan?
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menjelaskan bahwa memang pengusaha batu bara punya kewajiban untuk pemenuhan pasokan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).
Tapi di sisi lain perbedaan harga yang cukup tinggi antara harga DMO dan luar negeri menggiurkan, mendorong pengusaha untuk memprioritaskan ekspor ketimbang pemenuhan di dalam negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan disparitas yang tinggi banget, jauh banget antara (harga DMO) US$ 70 (per ton) which is kalau kita ekspor itu bisa US$ 180, mungkin terakhir terakhir di akhir tahun itu bisa US$ 200. Itu kan menggiurkan para pelaku usaha 'ya udah gue ekspor dulu deh, nanti yang dalam negerinya nanti-nanti' gitu lho," kata Ketua Umum Aspebindo Anggawira kepada Tim Blak-blakan detik.com.
Aspebindo, lanjut dia dari bulan September sudah mengingatkan bahwa pasokan batu bara sudah menipis, jika biasanya stok ada untuk 2 bulan akibat menipis menjadi hanya 2 minggu. Hal itu menurutnya mengkhawatirkan.
Menurutnya apa yang tejadi bisa dibilang sebagai situasi alamiah dari hukum ekonomi, di mana permintaan dari luar negeri harga ekspornya cukup tinggi dan menggiurkan otomatis banyak pengusaha yang akhirnya memprioritaskan ekspor.
Tapi, menurut dia kalau saja skema atau mekanismenya sudah teratur atau sudah terhubung satu sama lain sebenarnya bisa kelihatan pemenuhan batu bara di dalam negeri oleh para pengusaha. Jadi ketika stok menipis akan ada alarm.
"Jadi di tengah jalan itu bisa langsung diperingati, sebenarnya kan begitu, dan izinnya kan setiap barang yang keluar ini kan harus ada izin ekspornya, izin kapalnya. Jadi mungkin sistem informasi antara ekosistem bisnis ini apakah belum terintegrasi? Nah sebenarnya ini sebagai evaluasi juga untuk bisa terintegrasi antara satu sama lain," lanjut Angga.
Bukan itu saja, menurutnya sisi logistiknya juga harus diperhatikan, di mana batu bara sebelum diserap oleh pembangkit listrik harus disurvei dulu kualitasnya oleh surveyor. Terkadang hal itu memakan waktu lama sehingga bisa terlambat.
"Ya mungkin sih ini nggak terlalu lama. Kalau dulu harganya nggak ada disparitas yang tinggi sebenarnya normal-normal aja ya kan sebenarnya ya. Tapi kan ini kita nggak tahu karena COVID, karena apa kita harus benar-benar antisipasi lagi sistem yang ada," tambahnya.
(toy/dna)