PT Pertamina (Persero) saat ini masih menjual BBM jenis Pertamax seharga Rp 9.000 per liter. Harga tersebut lebih murah sekitar Rp 5.526 dari batas atas harga BBM RON 92 atau harga keekonomiannya yakni Rp 14.526 per liter seperti yang disampaikan Kementerian ESDM.
Di sisi lain, pemerintah menahan harga BBM jenis Pertalite karena paling banyak digunakan masyarakat.
Lantas, haruskah harga Pertamax dinaikkan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, kondisi saat ini memang dilematis. Namun, dia mengatakan, beban pemerintah akan semakin berat jika tidak menaikkan harga BBM.
Lanjutnya, untuk mengurangi beban APBN pemerintah bisa menaikkan harga Pertamax. Kenaikan harga Pertamax akan mengerek inflasi namun tidak besar.
"Untuk mengurangi beban APBN, pemerintah dapat menaikkan harga Pertamax (RON92)," katanya kepada detikcom, Senin (21/3/2022).
"Resikonya akan menaikkan inflasi, tetapi kecil. Pasalnya, proporsi pengguna Pertamax sekitar 12%, yang sebagian masyarakat menengah ke atas," tambahnya.
Meski begitu, ia menilai agar Pertalite tidak dinaikkan. Sebab, porsi konsumsinya besar dan berisiko mengerek inflasi secara signifikan. Hal itu berimbas ke daya beli masyarakat.
"Jangan menaikkan harga Pertalite, yang proporsi penggunanya setara 73%. Resiko kenaikkan Pertalite akan menaikkan inflasi secara signifikan dan memperburuk daya beli rakyat," ujarnya.
Sementara, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, jika dilihat dari sudut pandangan keuangan BUMN, harga BBM seharusnya mengalami penyesuaian. Namun, pemerintah kemungkinan mempunyai sudut pandang lain seperti menjaga daya beli di tengah pemulihan ekonomi.
"Tetapi intinya pemerintah harga berlaku fair, jadi harus memberikan kompensasi ke Pertamina karena semuanya tadi kan tidak masuk di dalam barang subsidi, baik untuk Pertamax maupun Pertaltie kan bukan yang subsidi. Kalau Pertalite sekarang mungkin sebagian masuk penugasan tapi penugasan sendiri juga bukan diatur di pricing policy tapi lebih ke volume pengaturannya," paparnya.
Menurutnya, kalaupun harus naik mesti dilakukan bertahap. Dengan demikian, katanya, terjadi sharing beban ke tiga pihak.
"Pertama ke BUMN saya kira keuangan BUMN, ke keuangan negara atau APBN ataupun melalui instrumen lain kompensasi, kemudian yang terakhir distribusi ke konsumen, karena kondisi sudah terlalu berat. Saya kira memang para pihak harus mengetahui atau sama-sama menanggung bebannya," jelasnya.