Akademisi Beri Saran ke PLN soal Pengembangan Energi Baru Terbarukan

Akademisi Beri Saran ke PLN soal Pengembangan Energi Baru Terbarukan

Erika Dyah Fitriani - detikFinance
Kamis, 24 Mar 2022 23:14 WIB
Panel surya
Foto: dok. PLN
Jakarta -

Akademisi Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Prof Mukhtasor, Ph.D memberikan masukkan agar PT PLN (Persero) memaksimalkan kekuatan nasional dalam pengembangan teknologi EBT di dalam negeri. Hal ini menurutnya berguna dalam menjalankan program dedieselisasi atau konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

Dalam seminar 'Renewable Energy Technology as a driver for Indonesia's De-Dieselization' di Hotel Ambarrukmo, Yogyakarta pada Rabu (23/3), Mukhtasor mengatakan hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Adapun PP tersebut menyebutkan tujuan pertama kebijakan energi nasional sejatinya adalah kemandirian energi. Setelah negara mampu mencapai hal tersebut, baru dapat dicapai tujuan selanjutnya untuk memperkuat ketahanan energi Nasional.

"Transisi energi adalah proses yang kompleks. Proses ini tidak hanya melibatkan sektor energi, tetapi juga menuntut adanya transformasi ekonomi. Di mana pengembangan teknologi baru akan menjadi sumber pendapatan untuk proses transisi yang berkelanjutan," jelas Mukhtasor dalam keterangan tertulis, Kamis (24/3/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PLN juga diimbau melaksanakan program dedieselisasi yang masih beroperasi di wilayah terpencil dengan penuh pertimbangan matang dan kehati-hatian. Terlebih, data dari Outlook Energi Indonesia memperlihatkan kinerja pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi sudah berada jauh di bawah Paris Agreement, yakni sebesar 29 persen pada 2030.

Mukhtasor melihat ada persepsi bahwa penurunan emisi harus dilakukan dengan membeli teknologi yang mahal di bidang energi. Padahal, laporan yang dibuat oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2020 menunjukkan proyeksi emisi karbon pada 2030 sektor energi sudah di bawah target yang ditetapkan.

ADVERTISEMENT

"Untuk sektor energi penurunan karbon kita sudah on the track. Yang belum memenuhi adalah kehutanan, tetapi kenapa yang didorong-dorong adalah sektor energi!" tegasnya.

Baca artikel selengkapnya >>>

Pada kesempatan yang sama, ia pun berpesan agar peran PLN sebagai pengembang dan operator utama pembangkit dalam program dedieselisasi ini tetap dipertahankan. Menurutnya, keberadaan Independent Power Provider (IPP) memang penting untuk mengembangkan teknologi baru, akan tetapi jika terlalu banyak pembangkit dikelola IPP, fungsi PLN hanya akan menjadi distributor saja.

Adapun salah satu pilot project skema dedieselisasi secara hybrid yang ada menggunakan Automatic Generation Controller & Grid Monitoring System untuk Mini Grid di sistem Sumba Timur. Proyek ini bekerja sama dengan United States Agency for International Development (USAID).

Director of Advance Energy System USAID Hanny J. Berchmans mengatakan proyek ini berhasil memberikan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pulau terpencil.

"Dengan menggunakan PLTS dan PLTD secara bersamaan, sistem Sumba Timur mampu menghasilkan listrik yang stabil dan tidak pernah padam selama 24 jam. Bahkan, kestabilan sistem mencapai 100 persen dengan memanfaatkan hanya 25 persen energi surya tanpa penggunaan baterai," paparnya.

Sementara itu, Head of Public Sector and Social Sector Practices in Africa McKinsey & Company Adam Kendall pun melihat dedieselisasi menjadi kesempatan bagi PLN untuk mengurangi ketergantungan terhadap baterai. Sebab, hingga saat ini baterai menjadi komponen termahal dalam pengembangan PLTS sebagai baseload. Berdasarkan pengalamannya di Afrika, ia menilai bahwa tahap pembangunan adalah proses yang terhitung mudah.

"Bagaimana dedieselisasi ini mampu meningkatkan skala ekonomi secara signifikan, dan dapat mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan menjadi satu hal yang harus terus dijaga," tuturnya.


Hide Ads