Pada kesempatan yang sama, ia pun berpesan agar peran PLN sebagai pengembang dan operator utama pembangkit dalam program dedieselisasi ini tetap dipertahankan. Menurutnya, keberadaan Independent Power Provider (IPP) memang penting untuk mengembangkan teknologi baru, akan tetapi jika terlalu banyak pembangkit dikelola IPP, fungsi PLN hanya akan menjadi distributor saja.
Adapun salah satu pilot project skema dedieselisasi secara hybrid yang ada menggunakan Automatic Generation Controller & Grid Monitoring System untuk Mini Grid di sistem Sumba Timur. Proyek ini bekerja sama dengan United States Agency for International Development (USAID).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Director of Advance Energy System USAID Hanny J. Berchmans mengatakan proyek ini berhasil memberikan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pulau terpencil.
"Dengan menggunakan PLTS dan PLTD secara bersamaan, sistem Sumba Timur mampu menghasilkan listrik yang stabil dan tidak pernah padam selama 24 jam. Bahkan, kestabilan sistem mencapai 100 persen dengan memanfaatkan hanya 25 persen energi surya tanpa penggunaan baterai," paparnya.
Sementara itu, Head of Public Sector and Social Sector Practices in Africa McKinsey & Company Adam Kendall pun melihat dedieselisasi menjadi kesempatan bagi PLN untuk mengurangi ketergantungan terhadap baterai. Sebab, hingga saat ini baterai menjadi komponen termahal dalam pengembangan PLTS sebagai baseload. Berdasarkan pengalamannya di Afrika, ia menilai bahwa tahap pembangunan adalah proses yang terhitung mudah.
"Bagaimana dedieselisasi ini mampu meningkatkan skala ekonomi secara signifikan, dan dapat mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan menjadi satu hal yang harus terus dijaga," tuturnya.
(prf/hns)