Produsen Migas AS Salahkan Wall Street Soal Harga Gas Selangit

Produsen Migas AS Salahkan Wall Street Soal Harga Gas Selangit

Kholida Qothrunnada - detikFinance
Jumat, 25 Mar 2022 13:34 WIB
Pusat bisnis di New York, Wall Street terlihat kosong melompong sebagai dampak
 pandemi Covid-19, Minggu (29/3/2020).
Foto: Anadolu Agency via Getty Images/Anadolu Agency
Jakarta -

Industri minyak AS saat ini tampaknya enggan meningkatkan pasokan produksinya, guna menyelamatkan warga AS dari harga gas yang semakin tinggi. Perusahaan minyak AS justru mengatakan, Wall Street lah yang harus disalahkan atas keputusan mereka tersebut.

Menurut survei Federal Reserve Bank of Dallas yang dirilis Rabu (23/3), tekanan investor untuk mempertahankan disiplin modal, menjadi alasan utama sebanyak 59% produsen minyak AS menahan pertumbuhan perdagangan mereka.

Mereka mengaku saat ini perusahaan minyak AS berada pada tekanan Wall Street. Selama bertahun-tahun, siklus industri minyak telah menghabiskan banyak uang untuk membiayai produksi mereka. Produksi minyak AS pun melonjak dan tetap membuat harga di posisi rendah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, hal itu membuat ratusan perusahaan minyak di AS bangkrut. Para investor pun menuntut perusahaan agar lebih mengendalikan produksi

Sementara saat ini perusahaan minyak juga berada di bawah tekanan besar para investor di Wall Street yang meminta perusahaan migas membagikan dividen kepada para pemegang saham.

ADVERTISEMENT

"Pemegang saham dan pemberi pinjaman terus menuntut pengembalian modal, dan sampai menjadi jelas bahwa harga energi yang tinggi akan bertahan, tidak akan ada pengeluaran eksplorasi," kata seorang eksekutif dari perusahaan minyak mengatakan kepada Fed Dallas dalam survei tersebut.

Output Minyak AS Turun Saat Harga Naik

Meskipun pasokan minyak AS diperkirakan akan meningkat dalam beberapa bulan mendatang, tetapi angka produksinya akan jauh di bawah produksi sebelum pandemi COVID-19. Terlepas dari hal itu, fakta mengungkapkan bahwa harga minyak pernah tembus ke level tertinggi sejak 2008.

Menurut Administrasi Informasi Energi AS, sejak 18 Maret AS telah memproduksi 11,6 juta barel per hari. Jumlah tersebut turun 10% dari akhir tahun 2019.

Di sisi lain, harga minyak mentah AS ditutup sebesar US$ 114,93 per barel pada hari Rabu (23/3), dimana angka tersebut naik 88% dari akhir 2019. Harga saat ini jauh di atas rata-rata US$ 56 per barel. Perusahaan besar minyak AS mengatakan, mereka membutuhkan harga US$ 49 per barel untuk menghasilkan keuntungan dari pengeboran pasokan minyak.

Namun, para eksekutif dan investor minyak tidak ingin menambah banyak pasokan minyak. Hal itu karena bisa menyebabkan kelebihan pasokan lain, yang bisa menjatuhkan harganya.

Setelah invasi Rusia ke Ukraina, harga bensin reguler AS mencapai rekor tertinggi US$ 4,33 per galon. Indeks aktivitas bisnis dalam survei Fed Dallas melonjak pada kuartal pertama, ke level tertinggi sejarah selama dalam enam tahun.

Kenaikan itu didorong oleh kenaikan tajam indeks produksi minyak. Berita buruknya, perusahaan-perusahaan minyak besar AS akan menurunkan peningkatan pasokan minyak mereka.

Perusahaan minyak besar AS mengalami tingkat pertumbuhan produksi rata-rata, antara kuartal keempat tahun lalu dan kuartal pertama tahun ini sebesar 6%. Sementara, perusahaan kecil, banyak mengharapkan pertumbuhan produksi yang jauh lebih cepat sebesar 15%.

Jika perusahaan minyak AS dan OPEC gagal meningkatkan produksi, analis telah memperingatkan bahwa harga energi kemungkinan akan tetap di harga yang sangat tinggi.




(das/das)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads