Sejarah Menarik: Asal Muasal BBM Pertamax, Pertalite hingga Premium

Sejarah Menarik: Asal Muasal BBM Pertamax, Pertalite hingga Premium

Trio Hamdani - detikFinance
Minggu, 03 Apr 2022 08:06 WIB
PT Pertamina (Persero) menaikan harga dua produk bahan bakar minyak (BBM) non subsidi per 18 September 2021. Dua produk tersebut berupa Pertamax Turbo RON 98 dan Pertamina Dex.
Foto: Rifkianto Nugroho

Kenaikan harga pada tahun 2003 ditentang keras. Analis mengaitkan hal ini dengan kepercayaan di antara para pengunjuk rasa bahwa berbagai keputusan pemerintah berpihak pada kelompok kepentingan yang kuat, serta ketidakpuasan umum dengan korupsi dan inefisiensi politik. Pada akhirnya, kenaikan harga solar dipangkas kembali dari semula 21,9% menjadi kenaikan harga 6,5%.

Pada tahun 2004, Indonesia dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Indonesia juga menjadi net importir minyak untuk pertama kalinya pada tahun tersebut. Pengeluaran untuk subsidi bensin, solar dan minyak tanah pun tembus sebesar US$ 8 miliar.

Pada tahun 2005, kekhawatiran atas meningkatnya tekanan yang diakibatkan oleh subsidi bahan bakar pada anggaran negara menyebabkan pemerintah menaikkan harga bahan bakar, yakni pada bulan Maret dan sekali lagi pada bulan Oktober dengan rata-rata masing-masing 29% dan 114%, mengurangi defisit anggaran negara Indonesia sebesar US$ 4,5 miliar pada tahun 2005 dan US$ 10 miliar pada tahun 2006.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keputusan Presiden mengumumkan bahwa subsidi bahan bakar yang tersisa akan dihapus, tetapi tidak menentukan jangka waktu pelaksanaannya. Pada bulan Oktober, harga juga dinaikkan ke tingkat pasar internasional untuk industri, dan diumumkan bahwa perubahan harga bahan bakar di masa mendatang akan dilakukan di tingkat menteri dan bukan di tingkat Presiden.

Pada tahun 2007, Rencana Aksi Nasional Indonesia untuk Mengatasi Perubahan Iklim mengakui bahwa subsidi bahan bakar fosil mendorong pemborosan dan inefisiensi, serta merusak pengembangan energi alternatif yang kompetitif .

ADVERTISEMENT

Didorongnya pemotongan subsidi sebagai salah satu dari sejumlah kebijakan untuk mencapai diversifikasi energi, menyatakan bahwa pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis pertumbuhan energi rendah polusi dengan meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan, dengan menghentikan bahan bakar fosil subsidi secara bertahap.

Kenaikan harga bahan bakar utama berikutnya terjadi pada tahun 2008, tahun ketika harga pasar internasional akhirnya mencapai puncaknya dengan harga minyak mentah light sweet AS sebesar US$ 147,27 per barel.

Anggaran Indonesia telah disusun dengan asumsi harga minyak mentah US$ 95 per barel, menyebabkan belanja subsidi membengkak dari US$ 5 miliar yang telah direncanakan menjadi sekitar US$ 17,6 miliar.

Harga bahan bakar naik rata-rata sebesar 28,7%. Program bantuan tunai untuk mengkompensasi rumah tangga miskin atas kenaikan biaya hidup mereka digelontorkan, kali ini dengan biaya sebesar US$ 1,52 miliar.

Harga bensin merek Premium dan solar merek Solar kemudian diturunkan sedikit pada bulan Desember karena harga internasional mulai turun, meskipun tetap berada di atas level sebelum kenaikannya.

Pada bulan September dan November 2009, G20 dan Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), yang keduanya memasukkan Indonesia sebagai anggota berkomitmen untuk fase mengeluarkan dan merasionalisasikan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien yang berujung pada pemborosan konsumsi.

Dalam Nota Fiskal dan RAPBN 2010, pemerintah mengacu pada redesign of subsidi policy (Redesign Kebijakan Subsidi): rencana subsidi harga BBM yang ada diubah menjadi subsidi yang ditargetkan, dengan alasan terbukti rentan terhadap harga minyak internasional fluktuasi, dan bahwa subsidi yang ditargetkan dapat dirancang agar lebih akuntabel, tepat dan dapat diprediksi, memberikan kontribusi lebih banyak stabilitas pada anggaran negara.

Antara Januari dan Mei 2010, sejumlah artikel melaporkan kenaikan lebih lanjut anggaran subsidi tahunan, dikatakan karena kekhawatiran tentang pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis keuangan internasional, dan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyatakan bahwa sistem smartcard akan dikembangkan untuk membatasi penjualan bensin bersubsidi, memperkenalkan batas konsumsi harian dan melarang penggunaannya di kendaraan transportasi pribadi.

Pada bulan Maret 2010, Reuters melaporkan bahwa Menteri ESDM telah mengumumkan bahwa Indonesia mungkin berusaha untuk menghilangkan subsidi listrik dan bahan bakar seluruhnya pada tahun 2014-2015.

Pada bulan April 2010, Evita Legowo yang kala itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM mengumumkan rencana untuk memotong subsidi sebesar 40% pada tahun 2014 dan pembuatan rencana baru, yang akan dilaksanakan pada tahun 2011, yang hanya akan mengizinkan kendaraan angkutan umum yang diproduksi sebelum tahun 2000 untuk menggunakan bahan bakar bersubsidi.

Pada Mei 2010, Wakil Presiden Boediono mengumumkan bahwa kebijakan energi akan dilakukan dalam paradigma baru. Indonesia sejak lama menganggap minyak dan gas sebagai pendapatan pemerintah, padahal seharusnya digunakan sebagai sumber daya untuk mengembangkan ekonomi domestik. Dia menyatakan bahwa tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan produksi dalam negeri.

Berdasarkan catatan detikcom, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia membuat terobosan terkait kebijakan subsidi BBM, di mana mulai 1 Januari 2015, pemerintah mencabut subsidi BBM jenis Premium. Sedangkan Solar masih diberikan subsidi tetap Rp 1.000/liter.

Namun pada 2018, sikap Jokowi terhadap subsidi BBM berubah dengan tak menaikkan harga solar dan Premium hingga akhir 2019. Pemerintah beralasan hal tersebut dilakukan guna menjaga daya beli masyarakat yang kala itu masih belum pulih.

Masih di tahun yang sama, tepatnya pada 10 Oktober 2018, pemerintah sempat berubah pikiran untuk menaikkan harga Premium hingga kemudian dibatalkan dalam waktu singkat.

Jokowi pada 13 Oktober buka suara mengenai harga Premium yang batal dinaikkan. Dia mengatakan bahwa rencana kenaikan harga BBM untuk semua jenis sudah dibicarakan sejak bulan lalu.

Kenaikan yang akhirnya dilakukan pada BBM Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Biosolar Non PSO karena kenaikan harga minyak dunia dan minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP).

"Kenaikan BBM bukan hanya Premium saja, Pertamax, dan lain-lain Dex sudah kita bicarakan sebulan yang lalu dan sudah kita putuskan naik. Naik karena memang harga ICP brent juga naik. Ya, naik," ujar Jokowi di Istana Bogor.

Jokowi juga mempertimbangkannya ke daya beli masyarakat. Kenaikan harga BBM khususnya Premium jika dilakukan bisa berdampak langsung ke konsumsi masyarakat yang pengaruhnya ke pertumbuhan ekonomi masih dominan.

"Kita dalam proses pembalikan dari konsumsi ke produksi, tapi belum sampai," kata Jokowi.

Baru-baru pemerintah mengumumkan Pertalite atau BBM RON 90 telah ditetapkan menjadi jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) seperti halnya BBM RON 88, Premium. Hal tersebut diungkap Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII, Selasa (29/3/2022).

"Bensin RON 90 ditetapkan sebagai JBKP berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tanggal 10 Maret 2022 tentang JBKP," katanya.

Namun belum diketahui akan seperti apa nasib Premium ke depannya. Sementara sudah sejak lama muncul wacana untuk menghapusnya.



Simak Video "Video: Sejoli Ini Modif Tangki Sedan Jadi 100 Liter Demi Dapat BBM Subsidi"
[Gambas:Video 20detik]

(toy/zlf)

Hide Ads