Ancaman Ngeri Distorsi Ekonomi Bila Harga BBM Ditahan Terus

Ancaman Ngeri Distorsi Ekonomi Bila Harga BBM Ditahan Terus

Tim Detikcom - detikFinance
Rabu, 08 Jun 2022 08:30 WIB
Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Tol Sidoarjo 54.612.48, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (11/4/2022). Pemerintah menetapkan Pertalite sebagai jenis BBM khusus penugasan yang dijual dengan harga Rp7.650 per liter dan Biosolar Rp5.510 per liter, sementara jenis Pertamax harganya disesuaikan untuk menjaga daya beli masyarakat yakni menjadi Rp 12.500 per liter dimana Pertamina masih menanggung selisih Rp3.500 dari harga keekonomiannya sebesar Rp16.000 per liter di tengah kenaikan harga minyak dunia. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/rwa.
Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Jakarta -

Pemulihan ekonomi mendorong peningkatan permintaan dan kenaikan harga komoditas terutama di kelompok energi dan pangan. Lonjakan harga yang signifikan semakin diperparah dengan terjadinya konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.

Beberapa komoditas bahan pangan seperti minyak goreng, tepung terigu, kedelai dan jagung mengalami kenaikan harga. Selain itu, tingginya harga minyak dan gas bumi di pasar global ikut mendorong kenaikan harga energi di dalam negeri.

Pemerintah sendiri melakukan berbagai upaya untuk meredam kenaikan harga-harga tersebut agar tidak langsung dirasakan masyarakat. Cara yang dilakukan adalah tidak menaikkan harga barang yang diatur pemerintah atau administered price seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, listrik, hingga gula.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamat Ekonomi Josua Pardede mengatakan langkah itu diambil agar daya beli masyarakat dan proses pemulihan ekonomi tidak terganggu. Meski di sisi lain, hal itu disebut berpotensi menimbulkan distorsi ekonomi.

"Kebijakan pemerintah saat ini untuk menahan harga-harga yang diatur pemerintah memang berpotensi menimbulkan distorsi ekonomi," kata Josua, Rabu (8/6/2022).

ADVERTISEMENT

Peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar Hirawan menyebut langkah pemerintah menahan harga barang-barang salah satunya karena tren kenaikan inflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Inflasi di Mei 2022 saja sudah menyentuh 3,55% (year on year/yoy).

"Jika pemerintah tidak melakukan hal tersebut, inflasi akan mengalami peningkatan yang lebih liar atau tinggi lagi dan kondisi ini dapat menyebabkan instabilitas harga secara makro serta mengganggu iklim usaha," tutur Fajar.

Buah hasil dari pemerintah menahan harga-harga adalah inflasi Indonesia yang berhasil ditekan atau lebih rendah dibandingkan negara lain. Inflasi di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) sudah meningkat mencapai 8,5%, Argentina 58%, hingga Turki 70%.

Dengan menahan harga, pemerintah disebut harus siap juga menjaga pasokan barang agar tidak terjadi distorsi ekonomi. Skema bantuan sosial atau operasi pasar bisa menjadi buffer/bantalan/shock absorber bagi masyarakat yang daya belinya perlu disokong.

"Yang jadi pertanyaan adalah, apakah dengan menahan harga, pemerintah juga mampu menjaga pasokan (suplai) barangnya (BBM/pangan)? Ini yang makanya ditakutkan oleh masyarakat, demand yang tinggi tanpa dibarengi pasokan (supply) yang memadai, akan menyebabkan kelangkaan (ketidakseimbangan pasar)," bebernya.




(zlf/zlf)

Hide Ads