Indonesia tengah menggenjot transisi energi dengan berbagai upaya yang dilakukan. Salah satunya adalah mengembangkan energi baru terbarukan dengan masif.
Pengusaha di sektor energi menilai, transisi energi tak melulu soal energi baru terbarukan di sektor kelistrikan. Transisi energi di Indonesia, khususnya di sektor industri, lebih besar dari konsep dekarbonisasi sektor kelistrikan.
"Saat ini narasi transisi energi seolah-oleh eksklusif berpusat pada energy terbarukan di sektor kelistrikan, atau listrik dari energi terbarukan. Kita lupa bahwa bentuk energi final yang dikonsumsi oleh sektor swasta, khususnya industri, tidak hanya listrik tetapi juga ada energi panas," ujar
kata Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan KADIN Muhammad Yusrizki dalam keterangannya, Rabu (20/7/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dikatakannya, dalam acara International Renewable Energy Agency (IRENA)-Indonesia G20 Energy Transition Investment Pre-Forum Meeting, Selasa (19/06/2022) di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta.
Yusrizki memaparkan, berdasarkan data dari Kementerian ESDM Handbook of Energy & Economy Statistics of Indonesia tahun 2021, dari keseluruhan konsumsi energi sektor industri, hanya 23,1% yang berasal dari listrik. Sebanyak 33% berasal dari batubara dan 43% berasal dari bahan bakar minyak.
Yusrizki mengatakan, kalangan pengusaha mengusulkan KADIN Net Zero Hub. Dia mengajak seluruh pemangku kepentingan, terutama kalangan industri sendiri untuk melihat ulang proses transisi energi di industri Indonesia.
"Dekarbonisasi sektor kelistrikan penting, tetapi bukan berarti inisiatif-inisiatif transisi energi di industri cukup dilakukan melalui listrik yang lebih rendah karbon. Beri ruang bagi sektor kelistrikan, terutama Kementerian ESDM dan PLN, untuk membuat perencanaan dan implementasi dekarbonisasi," tuturnya.
KADIN Net Zero Hub beserta mitra-mitra strategisnya tegas Yusrizki, memandang bahwa memberikan ruang gerak bagi industri untuk membeli listrik rendah karbon saat ini lebih penting dan lebih strategis dibandingkan membicarakan bagaimana dan kapan EBT skala besar dapat diakomodasi di jaringan listrik nasional.
"Beri ruang bagi industri, tidak terlalu terlalu rumit menghitung apakah listrik EBT ini lebih mahal dibandingkan listrik dari energi fosil. Bagi industri yang memang memerlukan, mereka dapat menghitung manfaat yang mereka bisa dapatkan dari membayar harga premium dari listrik EBT. Yang menjadi kunci adalah membuka opsi bagi industri," demikian pemaparan lebih lanjut dari Yusrizki.
(acd/zlf)