Pemerintah disebut akan mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) minggu depan. Hal ini terkait beratnya beban subsidi yang mencapai Rp 502 triliun.
Menanggapi hal ini Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) tegas menolak rencana tersebut. PKS menyebut kenaikan harga BBM terjadi saat harga minyak dunia mengalami penurunan.
"Padahal, sejak Juni 2022, harga minyak terus turun, dari US$ 140 per barel menjadi hari ini sebesar US$ 90 per barel. Jadi, urgensi kenaikan harga BBM bersubsidi sudah kehilangan makna," kata Anggota Komisi VII PKS, Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Rabu (24/8/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, isu kenaikan harga BBM terjadi saat masyarakat belum pulih dari pandemi COVID-19.
"Kami ingin menyampaikan sikap PKS, bahwa PKS menolak kenaikan harga BBM bersubsidi. Mengapa? Karena masyarakat belum pulih benar dan belum cukup kuat bangkit dari terpaan pandemi COVID-19," sambungnya.
Mulyono menambahkan, angka inflasi saat ini cukup tinggi dan berdampak pada masyarakat. Kondisi ini berpotensi menjadi parah jika harga BBM bersubsidi dinaikkan.
Ia mengatakan, masyarakat hari ini menderita inflasi sebesar 4,94%. Ini merupakan inflasi tertinggi sejak Oktober 2015. Bahkan untuk kelompok makanan, inflasi hari ini adalah sebesar 11%. Gubernur Bank Indonesia sempat mengatakan jika angka inflasi kelompok makanan harusnya berkisar 5%-6% paling tinggi.
"Itu kondisi saat belum ada kenaikan BBM bersubsidi. Kalau harga BBM bersubsidi dinaikkan, ini dapat dipastikan inflasi sektor makanan akan meroket. Tentu saja, ini akan menggerus daya beli masyarakat, dan tingkat kemiskinan akan semakin meningkat," ungkapnya.
Ia menyebut urgensi menaikkan harga BBM bersubsidi sudah kehilangan makna. Mulyanto meminta Pemerintah untuk menghemat anggaran dengan menghentikan pembangunan proyek yang nilainya tak perlu, seperti IKN baru dan kereta cepat Jakarta-Bandung.
(das/das)