Pakar ekonomi pembangunan Faisal Basri mengungkapkan stabilitas fiskal di APBN dapat direalisasikan dengan mengurangi subsidi BBM secara bertahap dan mengalokasikan anggaran ke sektor yang lebih produktif. Menurutnya, penetapan harga BBM seharusnya berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global, sebagaimana yang dulu pernah diterapkan pada awal-awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (29/8/2022).
Faisal menjelaskan polemik subsidi BBM mencuat menyusul potensi membengkaknya biaya subsidi BBM di APBN, khususnya di tengah kenaikan inflasi dunia karena disrupsi rantai pasok akibat pandemi dan perang. Ia mengatakan hal ini memunculkan dilema.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Subsidi BBM dapat diibaratkan seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan. Untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut memang sulit, namun tentu bukan mustahil," tuturnya.
Ia mengungkapkan Jokowi sebenarnya sudah membuat kebijakan yang baik di awal pemerintahannya, dan kebijakan tersebut perlu dilaksanakan secara konsisten. Kala itu, Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 191 tahun 2014 untuk melakukan pengurangan subsidi BBM.
Berdasarkan aturan tersebut, harga BBM ditetapkan berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global, dalam hal ini harga transaksi di bursa minyak Singapura (MOPS).
"Berdasarkan aturan tersebut harga jual eceran BBM diubah setiap bulan sesuai dengan perubahan harga minyak di bursa Singapura. Selain itu, pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk bensin premium. Subsidi hanya diberikan untuk minyak tanah dan minyak solar," ungkap Faisal.
Faisal menyebut pencabutan subsidi BBM berdampak besar pada pengeluaran pemerintah. Ia mengungkapkan pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM turun tajam dari Rp 191,0 triliun pada 2014 menjadi Rp 34,9 triliun di tahun 2015.
Namun kehadiran Perpres Nomor 43/2018 yang memberi kewenangan kepada Menteri ESDM untuk menetapkan harga BBM umum berbeda dengan harga yang dihitung berdasarkan formula sebelumnya. Sejak peraturan ini diterbitkan, kata Faisal, pemerintah harus membayar kompensasi kepada Pertamina selaku badan usaha yang ditugaskan untuk memproduksi bensin premium atas kekurangan penerimaan yang disebabkan oleh penetapan harga tersebut.
"Kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan pada dasarnya bentuk subsidi terselubung," imbuhnya.
Karena itu, Faisal mendorong agar Indonesia kembali ke upaya konsisten menghapus kebijakan subsidi secara bertahap, alokasi anggaran subsidi BBM, mendorong produksi minyak bumi dan peningkatan ketahanan energi.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan yakni dengan mengembalikan aturan penetapan harga BBM sesuai dengan formula yang diatur oleh Perpres Nomor 191 tahun 2014.
Di sisi lain, Faisal menerangkan kekhawatiran harga BBM berfluktuasi sehingga menyumbang pada inflasi dapat dikurangi dengan memberlakukan dana stabilisasi, penetapan harga jual eceran BBM berdasarkan formula perhitungan harga yang sederhana dan mencerminkan keadaan sebenarnya (koefisien berdasarkan data up to date), memperkecil peluang manipulasi dan perburuan rente di pasar, serta subsidi BBM seyogyanya untuk mendorong masyarakat melakukan perubahan pola konsumsi BBM dan restrukturisasi industri perminyakan.
Kendati harga BBM merupakan isu sensitif yang kebijakannya kerap menuai protes dari berbagai kalangan, Faisal yakin pemerintah dapat tetap konsisten menghapus subsidi BBM secara bertahap.
"Memerlukan upaya keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan tersebut diperlukan agar pemerintah dapat menyediakan anggaran cukup untuk kebutuhan lain yang memberi manfaat lebih besar bagi orang miskin," pungkasnya.
(fhs/hns)