Kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dinilai tidak efektif dalam menurunkan angka kemiskinan. Pasalnya, dalam praktiknya subsidi tersebut tidak tepat sasaran.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan selama ini BBM subsidi jenis Pertalite ternyata lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu atau orang-orang kaya.
Berdasarkan data yang diperoleh lembaganya sepanjang tahun 2022 pemerintah telah menganggarkan subsidi energi yang amat besar, yakni mencapai Rp 502 triliun. Namun sayangnya, dana sebesar itu lebih banyak habis untuk mensubsidi BBM yang 80%-nya dinikmati masyarakat kalangan mampu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mencontohkan sebanyak 70% atau sekitar 20,3 juta Kiloliter (KL) per tahun BBM subsidi jenis Pertalite dikonsumsi oleh kendaraan roda empat. Sedangkan kendaraan roda dua hanya menggunakan sebanyak 8,7 juta KL per tahun, atau sekitar 30%. Menurutnya, rata-rata konsumsi BBM kendaraan roda dua hanya 2,5 liter sekali transaksi, sedangkan roda empat mencapai 23,5 liter sekali transaksi.
"Kalau roda empat yang mengkonsumsi Pertalite itu angkutan umum kita bisa terima. Karena masyarakat bawah yang tidak punya mobil naik angkutan umum. Tapi faktanya dari 20,3 juta KL konsumsi roda empat itu, sebagian besar atau 98,7%-nya adalah mobil pribadi. Angkutan umum hanya 0,4%, taksi online 0,6%, dan taksi 0,3%. Yang punya mobil pribadi kan orang mampu," ujar Komaidi dalam keterangan tertulis, Kamis (15/9/2022).
Hal ini diungkapkannya dalam diskusi bertajuk 'Mengurai Polemik Kenaikan BBM Bersubsidi' yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Jakarta, Rabu (14/9).
Oleh karena itu, dia mendukung pengurangan anggaran subsidi BBM untuk dialihkan pada anggaran yang betul-betul dibutuhkan masyarakat miskin. Antara lain untuk bantuan langsung tunai, serta peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan.
"Artinya subsidi dialihkan dari si kaya ke si miskin yang benar-benar membutuhkan," tuturnya.
Terkait dengan potensi naiknya harga-harga barang akibat kenaikan harga BBM bersubsidi, menurutnya harus ada pengawalan tersendiri dari pemerintah. Mengingat harga energi hanyalah sebagian kecil dari komponen penentu harga barang.
Dikatakan Komaidi, komponen terbesar penentu harga barang adalah harga bahan baku yang mencapai 79%. Lalu komponen terbesar lainnya adalah upah tenaga kerja.
"Ini kalau tidak dikawal oleh pemerintah, pelaku usaha akan menaikkan harga barang seenaknya, dengan alasan harga BBM naik. Pengawalan ini harus detail di semua lini dan jelas hitungannya," katanya.
"Domain terbesarnya ada di Kementerian Perdagangan. Kebijakan pengawalan kenaikan harga barang ini dilakukan semua negara. Contohnya di Malaysia, kalau dalam menaikkan harga barang pengusaha tidak mau ikut ketentuan pemerintah, maka bisa dicabut izin usahanya," pungkas Komaidi.
(akd/hns)