PT Pertamina Tbk (Persero) telah menyiapkan strategi untuk menjaga keseimbangan antara ketahanan iklim dan keamanan energi. Salah satunya dengan mengembangkan nature based solutions atau solusi berbasis alam.
Menurut Senior Vice President Research Technology and Innovation Pertamina Oki Muraza, langkah ini sebagai upaya untuk mendukung tercapainya target nol emisi karbon (Net Zero Emission) pada 2060. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan pengurangan emisi yang diusung pemerintah.
Oki menuturkan untuk mencapainya Pertamina menjalankan dua strategi, yaitu dekarbonisasi dari usahanya saat ini dan membangun bisnis baru yang berprinsip hijau dan berkelanjutan. Dekarbonisasi melibatkan efisiensi energi, kegiatan migas tanpa gas suar bakar (zero flare), penangkapan karbon dan utilisasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Langkah kedua termasuk meningkatkan listrik hijau di Indonesia, ekosistem EV dan solusi berbasis alam," ujarnya saat menjadi pembicara dalam Paviliun Indonesia COP-27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, kemarin, dikutip dalam keterangan tertulis, Kamis (10/11/2022)
Lebih lanjut, Oki menyebut kebijakan solusi berbasis alam bukanlah hal yang asing. Kendati demikian, pengembangan solusi berbasis alam harus bersinergi dengan sektor energi, bukan sebagai entitas yang terpisah.
Oki menjelaskan solusi berbasis alam merupakan salah satu kebijakan jangka pendek dan menengah yang dapat menopang akselerasi implementasi teknologi iklim yang merupakan kebijakan jangka panjang. Solusi-solusi tersebut perlu menjadi pertimbangan dalam merancang strategi untuk mencapai mitigasi karbon.
"Jadi kita tidak hanya harus mampu menangkap karbon dioksida dengan daun tapi juga memproduksi sesuatu termasuk karet dan hidrokarbon terbarukan (minyak nabati) dan lain sebagainya. Pada akhirnya kita mengharapkan akan memiliki produk lain dari solusi berbasis alam," terangnya.
Oki mengatakan ada tiga pilar yang perlu diperhatikan dalam pengembangan solusi berbasis alam untuk mewujudkan ketahanan bisnis di tengah tantangan perubahan iklim. Di antaranya, keterlibatan komunitas, biodiversitas dan konservasi serta ekonomi yang berkelanjutan.
Adapun beberapa vegetasi yang memiliki potensi dikembangkan dalam solusi berbasis alam termasuk nyamplung (Calophyllum inophyllum), malapari (Pongamia pinnata) untuk pengembangan biofuel serta ekosistem mangrove yang memiliki kemampuan penyerapan karbon 264 ton CO2 per hektare.
"Kami melakukan beberapa studi dengan universitas dan institusi pemerintah bagaimana mempromosikan tanaman yang dapat memberi stok bahan baku untuk kilang hijau," imbuh Oki.
Oki juga menyoroti beberapa inisiatif seperti penangkapan gas metana yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik dan compressed natural gas. Serta, inisiatif pengolahan limbah cair menjadi biometana dan sampah padatan biomassa menjadi etanol.
Selain itu, ia juga menyebut tentang inisiatif pusat Carbon Capture and Storage (CCS) di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan dan pengembangan pemanfaatan panas bumi atau geothermal yang dilakukan Pertamina.
(akd/hns)