Kementerian ESDM tidak memasukkan skema power wheeling dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Skema power wheeling sendiri yakni penggunaan jaringan tenaga listrik bersama antara PT PLN (Persero) dengan pembangkit swasta (Independent Power Producer/IPP) penghasil listrik EBT.
"Kan sudah jelas, posisi pemerintah sudah jelas, sudah masuk di dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) itu. Posisi pemerintah sih nggak ada power wheeling. Tapi adalah kewajiban untuk menyediakan energi baru dan bersih ke dalam sistem. Itu kewajiban itu harus dilaksanakan ya," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif di Kompleks DPR Jakarta, Selasa (24/1) kemarin.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Abra Talattov menyebut pasal itu dapat dibaca sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusi dimana sektor ketenagalistrikan merupakan sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara. "Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat," ujarnya.
Abra pun memaparkan tiga alasan mengapa publik perlu mencermati pasal-pasal tersebut dalam RUU EBT tersebut (pasal 29 A, pasal 47 A, pasal 60 ayat 5). Pertama, tidak ada urgensi sama sekali untuk menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.
Abra menjelaskan bahwa tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, Pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPLT paling green itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," tegasnya.
Kedua, pengusulan skema power wheeling kurang relevan, mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak. Abra mengatakan, saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan kita sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik. Hingga akhir Tahun 2022 lalu saja oversupply menyentuh sekitar 7 GW.
"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," katanya.