Menteri Era Soeharto Kritik Kebijakan Kendaraan Listrik

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Senin, 21 Agu 2023 14:19 WIB
Emil Salim/Foto: Vadhia Lidyana
Jakarta -

Ekonom senior yang juga Menteri Lingkungan Hidup (LH) era Presiden Soeharto, Emil Salim mengkritisi kebijakan pemerintah dalam mendorong penggunaan kendaraan listrik di Tanah Air. Tidak jauh berbeda dengan kendaraan berbahan bakar fosil, kendaraan listrik tetap akan menyumbang emisi CO2 yang cukup besar karena berasal dari pembangkit batu bara.

"Betul kita mengubah mobil dengan listrik, tetapi ketika listrik yang kita pakai di mobil lemah perlu di-charge, ke mana men-charge baterai itu? Ke listrik PLN, dan dari mana listrik PLN? Batu bara," kata Emil dalam acara Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2023).

Emil menyoroti kebijakan energi yang bertumpu pada bahan bakar fosil. Hal ini yang menimbulkan emisi.

"Yang menjadi permasalahan dalam CO2 adalah energy policy kita. Energy policy Indonesia didasarkan pada fossil fuel," ujarnya.

Oleh karena itu, menurutnya untuk saat ini, mendorong penggunaan kendaraan listrik di Tanah Air hanya menggeser pencemaran yang semula bersumber dari bahan bakar fosil ke batu bara.

"Sehingga kita mengubah minyak dengan kendaraan listrik tetapi pengisian listrik mobil itu tetap bergantung pada listrik PLN yang didasarkan pada batu bara, sehingga bergeserlah mobil dari pencemaran bensin ke pencemaran batu bara," katanya.

Merujuk pada kebijakan ini, Emil melihat belum ada ketegasan dari pemerintah menyangkut pengendalian CO2 lewat kebijakan energi agar bisa mengendalikan perubahan iklim. Oleh karena itu, penting untuk mendorong kebijakan 'suntik mati' PLTU batu bara untuk bisa segera terwujud.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pihaknya mendorong pensiun dini PLTU batu bara. Namun semua membutuhkan proses, tak bisa serta-merta PLTU langsung 'disuntik mati'.

"Tapi kan tidak bisa ujug-ujug juga nanti listrik mati semua gimana gitu kan, kita perlahan. Jadi memang ada yang sudah mulai, di beberapa daerah yang kita anjurkan adalah melakukan co-firing. Dengan co-firing itu menurunkan setidaknya 30% emisi," katanya usai acara.

Suharso mengatakan, saat ini bagaimana caranya agar hasil pembuangan PLTU bisa ditransformasikan menjadi co-firing. Dalam hal ini, demi mewujudkan zero emission, pemerintah mengupayakan perwujudannya lewat semua lini, tak hanya lewat 'suntik mati' PLTU.

Sebagai tambahan informasi, sebelumnya Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga sempat mengkritisi kebijakan penggunaan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Ia meragukan 'kebersihan' kendaraan listrik lantaran pembangkit listriknya dari batu bara.

"Kita bilang net zero emission, kita bilang kendaraan listrik yang green. Pertanyaan saya, kalau PLTU-nya pakai batu bara? Kenapa tidak manfaatkan semua panas bumi. Nah, di situlah Pertamina harus bisa bersama-sama PLN untuk melakukan (mulai memakai energi) panas bumi," kata Ahok di ICE BSD Tangerang, Selasa (15/8/2023), dikutip dari detikOto.

Selain itu, Ahok juga berpandangan, sebaiknya pemerintah berlaku 'adil' dalam hal kebijakan demi transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Kendaraan ramah lingkungan harus dikebut, tetapi juga harus menyesuaikan dengan kekuatan dan kebutuhan masyarakat.

"Saya lihat beberapa otomotif sudah ambil jalan tengah, ada hybrid dulu kan, karena apa? Kita tidak mau kehilangan tenaga kerja. Bayangin, dari satu kendaraan, ada berapa komponen, tinggal jadi beberapa puluh dan ratusan. Bangsa kita ini belum siap jadi pengusaha semua, masih banyak yang jadi pegawai. Di sinilah fungsi Pertamina dengan tepat melakukan transisi energi," kata dia.

"Kalau tanya negara mana, ini mau ke mana kan? Makanya semua negara pun yang penting new energy vehicles, bukan terbatas electric vehicles. Anda mau pakai angin juga boleh, mau pakai uap apa juga boleh. Yang penting pasarnya mau beli nggak?," ujarnya.




(shc/ara)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork