Ini Hasil Kajian Ilmiah ITB Terkait Polusi Jakarta

Ini Hasil Kajian Ilmiah ITB Terkait Polusi Jakarta

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Kamis, 07 Sep 2023 13:55 WIB
Indonesia masuk enam negara paling berkontribusi terhadap polusi udara global, warga akan gugat pemerintah dan industri
Foto: BBC Indonesia
Jakarta -

Polusi udara yang menyelimuti wilayah DKI Jakarta tidak hanya terjadi di tahun ini saja, berdasarkan data 2017-2023 wilayah Ibu Kota selalu diselimuti polusi dan puncaknya terjadi pada periode Juli-Agustus setiap tahunnya.

Dalam kajian yang dilakukan Peneliti sekaligus Guru Besar Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB), Puji Lestari menjelaskan, Sejak 2017-2023, puncak polusi udara di Jakarta ada di Juli-Agustus, dan kemudian konsentrasi polusi turun pada musim penghujan, dan kembali naik saat musim kemarau.

"Pola ini tetap terulang hingga di 2023," kata Puji dalam kajiannya berjudul Kajian Dampak Kegiatan PLTU Terhadap Potensi Polutan Lintas Batas Dengan Model Dispersi, dikutip Kamis (7/9/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penelitian ITBFoto: Dok Penelitian ITB (Lestari 2023)

Jika dilihat puncak tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2019, yang merupakan tahun dengan kondisi serupa seperti tahun 2023. Pada tahun 2019, terjadi peristiwa El Nino yang menyebabkan musim kemarau yang panjang. El Nino ini menyebabkan akumulasi polusi di wilayah Jakarta karena kurangnya hujan selama musim kemarau yang panjang, serta kondisi cuaca seperti inversi termal dan kecepatan angin yang rendah.

Namun pada tahun 2020, konsentrasi polusi agak turun, dengan pola yang sama, tetapi intensitasnya lebih rendah. Ini disebabkan oleh pandemi COVID-19 yang memengaruhi aktivitas manusia dan mengurangi polusi udara. Pada tahun 2021 dan 2023, konsentrasi polusi kembali naik, yang juga dipicu oleh musim kemarau yang panjang. Pola ini tetap konsisten.

ADVERTISEMENT

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak hanya faktor internal, tetapi juga faktor eksternal seperti El Nino dan perubahan dalam aktivitas manusia, seperti pandemi COVID-19, memengaruhi polusi udara yang terjadi setiap tahun pada bulan Juli dan Agustus. Hal ini tidak hanya terjadi saat ini atau dalam satu bulan terakhir, tetapi sudah terjadi sejak tahun 2017.

Sumber Polusi Udara di Jakarta

Emisi PM 2,5 terdiri dari:
46% kendaraan
43% industri
9% pembangkit listrik
2% residential

Emisi NOx terdiri dari:
57% kendaraan
24% pembangkit listrik
15% industri
4% residential

Emisi SOx terdiri dari:
67% industri
24% pembangkit listrik
6% residential
3% kendaraan

Simak Video: Tak Ada Jakarta di Daftar 10 Kota Paling Berpolusi di RI Versi IQAir

[Gambas:Video 20detik]



Jakarta yang dikelilingi daerah penyangga seperti kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) menjadikan Jakarta tidak bisa dilepaskan dari kegiatan di kota sekitarnya. Sumber Polusi udara di Jakarta, tentunya selain dari sumber lokal juga ada pengaruh dari kegiatan di kota di sekitarnya atau yang sering disebut Lintas batas polutan (transboundary air pollutants).

Kontribusi pembangkit di Jakarta untuk PM2.5 tidak besar karena pembangkit yang ada di Jakarta menggunakan bahan bakar Gas. Sementara kajian Inventarisasi emisi yang dilakukan oleh Vital Strategies pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sumber PM2.5 di Jakarta berasal dari sektor transportasi sebesar 67%, industry 27% dan pembangkit 6%.

Dari Hasil kajian yang telah dipublikasikan pada Jurnal Internasional Atmospheric Pollution Research International tahun 2022 dapat disimpulkan bahwa sumber polusi di Jakarta, untuk PM 2,5 didominasi oleh 46% (sektor transportasi), 43% (sektor industri, termasuk industri yang menggunakan boiler kecil untuk pembakaran batu bara atau solar), 9% (pembangkit listrik), dan 2% (residential).

Sementara itu, untuk polutan NOx, 57% sektor transportasi dan terdapat kontribusi dari pembangkit listrik serta sektor industri. Parameter SOx sebagian besar kontribusinya berasal dari sektor industri, karena transportasi hanya menyumbang sedikit SOx, terutama dari kendaraan diesel, mengingat populasi kendaraan diesel hanya sekitar 20% dari total kendaraan di Jakarta.

Dok Penelitian ITBFoto: Dok Penelitian ITB (Lestari 2020)

Selanjutnya, dalam rangka melakukan mengidentifikasi sumber pencemar PM 2,5 Peneliti melakukan penelitian pada tahun 2019 dan 2020, terutama di daerah Kebon Jeruk dan Lubang Buaya.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa selama musim penghujan hanya 10% pengaruh dari pembangkit listrik sisanya didominasi dari sektor transportasi. Selama musim kemarau, pengaruh dari pembakaran batu bara sama sekali tidak terlihat. peneliti ingin menekankan bahwa tidak menafikan adanya pengaruh tersebut, tetapi tampaknya terjadi hanya selama musim penghujan.

"Sehingga emisi PLTU tidak berdampak signifikan terhadap polusi di Jakarta," ungkap Puji.

Dok Penelitian ITBDok Penelitian ITB Foto: Dok Kerma ITB, VS dan TMC 2021
Dok Penelitian ITBDok Penelitian ITB Foto: Dok Kerma ITB, VS dan TMC 2021

Temuan ini juga didukung oleh kajian lain dengan model yang berbeda dimana, selama musim kemarau tidak ada pengaruh yang berasal dari pembakaran batu bara, sementara selama musim penghujan, pengaruhnya hanya mencapai sekitar 14%. Sehingga emisi PLTU tidak berdampak signifikan terhadap polusi di Jakarta.

Penelitian ITBPenelitian ITB Foto: Dok Penelitian ITB (Lestari 2023)

Selanjutnya, dapat dilihat dengan sangat jelas pola pergerakan angin di Jakarta pada bulan Agustus 2023. Polanya menunjukkan bahwa angin tidak bertiup dari arah Barat, tetapi justru berasal dari Timur laut, Selatan, dan Timur. Sehingga emisi PLTU tidak berdampak terhadap polusi di Jakarta pada musim kemarau.

Dari hasil kajiannya tersebut, Puji memberikan beberapa rekomendasi:

1. Penting untuk melakukan pengawasan ketat terhadap sumber-sumber emisi dari sektor-sektor penting, termasuk industri, pembangkit, dan transportasi.

2. Memperketat standar emisi dan menerapkannya segera, khususnya untuk sektor transportasi.

3. Dari sektor energi, diperlukan upaya untuk menyediakan bahan bakar dengan kualitas yang cukup untuk mendukung implementasi standar Euro 4. Saat ini, ada keterlambatan dalam penerapan Euro 4 di Indonesia, terutama untuk kendaraan diesel, yang baru diadopsi pada tahun 2021.

4. Percepatan adopsi kendaraan listrik, khususnya untuk kendaraan berat, merupakan langkah penting. Dari hasil kajian, transportasi, termasuk bus dan truk, berkontribusi lebih dari 50% terhadap polusi udara. Sementara itu, untuk polutan seperti CO, sepeda motor adalah penyumbang utama. Oleh karena itu, upaya-upaya ini perlu ditempuh dan terkait dengan sumber-sumber emisi yang relevan.

5. Peneliti juga berharap bahwa ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat mempertimbangkan penerapan alat pengendali polusi udara, seperti ESP (Electrostatic Precipitator), fabric filter, dan wetscrubber, yang harus diwajibkan dan diawasi dengan ketat dalam sektor industri dan pembangkit.


Hide Ads