Indonesia ternyata membutuhkan anggaran yang sangat besar untuk bisa melakukan transisi dari energi kotor menuju energi bersih. Jumlahnya mencapai sekitar Rp 749 triliun per tahun. Hal ini diungkap oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN/Kepala Bappenas) Suharso Monoarfa.
"Itu (Rp 794 triliun per tahun) adalah jumlah investasi yang dibutuhkan. Karena kita ingin mendorong pertumbuhan ekonomi sembari menekan emisi gas rumah kaca. Maka, diperlukan investasi yang cukup besar," ucapnya saat ditemui di sela-sela agenda 'Energy Transitions Conference & Exhibition dan Anugerah DEN 2023' di Birawa Assembly Hall, Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (18/10/2023).
Suharso kemudian menjelaskan, bahwa total Rp 794,6 triliun per tahun diperlukan untuk berbagai hal. Salah satunya, adalah biaya adopsi teknologi canggih yang diperlukan untuk mengeksekusi program transisi energi hijau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu alasannya (kebutuhan pendanaan) jadi lebih besar. Karena pilihan-pilihan teknologi yang sebenarnya sangat lebar," sambungnya.
Dalam acara tersebut, Suharso awalnya menuturkan terdapat kesenjangan investasi atau investment gap sebesar Rp 458,2 triliun.
Dalam kondisi ideal, pemerintah dan sektor swasta pun diharapkan mengalokasikan 2% dari keseluruhan investasinya ke investasi hijau. Sementara sebanyak 84% dari kesenjangan investasi bakal diisi pemerintah melalui sejumlah upaya seperti realokasi subsidi, pajak karbon, dan perdagangan karbon.
"Sehingga masih diperlukan pendanaan inovatif lainnya dan investasi hijau berkelanjutan," tulis presentasi tersebut.
Memperkuat penjelasan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, menjelaskan bahwa pemerintah saat ini sudah mendapat sejumlah anggaran untuk melaksanakan program transisi energi hijau.
Salah satunya adalah total US$ 20 miliar dollar atau Rp 314 triliun (Kurs Rp 15.732) yang berasal dari Just Energy Transition Partnership (JETP).
Berdasarkan catatan detikcom, program pendanaan internasional tersebut berasal dari negara-negara G7 seperti Amerika dan Jepang. Pendanaan itu disinyalir digelontorkan dalam berbagai bentuk mulai dari hibah, pinjaman, hingga bantuan.
Untuk mendapatkan dana itu, Djoko menjelaskan pemerintah telah membentuk Sekretariat JETP di kantor Menteri Koordinator Maritim dan Investasi. Ia mengatakan, pemerintah sedang membahas dengan intens tentang skema pendanaan JETP.
"Pemerintah membentuk Sekretariat JETP di kantor pak Luhut. Kita sedang untuk merincikan penggunaan dana US$ 20 miliar itu. Apakah dalam bentuk berbagai project, apakah ada bunga atau tidak. Sedang kami bahas. Yang jelas, beberapa project itu saya minta langsung bermanfaat untuk masyarakat. Misalnya dari minihidro dan penyediaan air bersih," jelas Djoko.
Adapun soal kabar investment gap sebesar Rp 458,2 triliun, Djoko mengatakan data tersebut dimunculkan sebab kas negara (APBN) tidak memungkinkan untuk mengakomodir besarnya biaya adopsi teknologi transisi hijau. "APBN tidak memungkinkan dana sebesar itu," ungkapnya.
Namun hingga saat ini, ia menjelaskan pemerintah berupaya mendorong transisi energi hijau dengan melaksanakan program Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang terdiri dari 380 kegiatan. Setidaknya 13 kementerian dan lembaga dilibatkan dalam program tersebut. Termasuk pemerintah daerah yang didorong untuk merancang Peraturan Daerah tentang Rencana Umum Energi Nasional (Perda RUEN).
Dari 35 provinsi, Djoko menjelaskan sebanyak 30 di antaranya sudah mempunyai Perda Ruen. Hanya tersisa empat provinsi lagi yang belum memiliki peraturan tersebut, dua diantaranya adalah Kepulauan Riau dan Papua.
Perda RUEN pun bakal menjadi dasar hukum untuk pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah untuk merancang anggaran yang mengakomodir upaya transisi energi hijau dan energi baru terbarukan (EBT)
"Perda Ruen juga berfungsi sebagai dasar hukum investor untuk membangun EBT di masing-masing daerah. Mereka akan lagi firm," pungkas mantan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM tersebut.
(das/das)