Isu transisi energi beberapa tahun belakangan semakin menggema seiring dengan target nol emisi (Net Zero Emission/NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Berbagai upaya dilakukan pemerintah dan badan usaha agar target tersebut bisa tercapai, tak terkecuali PT Pertamina (Persero) dengan diluncurkannya bioavtur ramah lingkungan sebagai upaya menekan emisi.
Sebelum lebih jauh soal transisi energi, mari kita pahami lebih dalam mengenai target nol emisi. Mengutip laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), nol emisi karbon adalah ketika emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap bumi. Untuk mencapainya diperlukan sebuah transisi dari sistem energi yang digunakan ke sistem energi bersih guna mencapai kondisi seimbang antara aktivitas manusia dengan keseimbangan alam.
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mencapai target nol emisi dengan menekan jejak karbon atau aktivitas manusia yang menghasilkan emisi. Kenapa jejak karbon harus ditekan? Karena akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan kita di bumi, seperti kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih, timbul cuaca ekstrem dan bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, dan berbagai kerusakan alam lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mengurangi jejak karbon dan mencapai kondisi nol emisi, pemerintah menerapkan lima prinsip utama, yaitu peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan yang terakhir pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS). Nah, kali ini akan dibahas salah satu upaya Pertamina mengurangi energi fosil. Bagaimana caranya?
Pertamina mengembangkan produk Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau avtur dicampur sawit sehingga bisa mengurangi emisi gas buang pesawat. Pemanfaatan minyak sawit juga diharapkan bisa mendorong industri dan ekonomi dalam negeri. Pengembangan SAF hingga akhirnya diluncurkan pada Jumat (27/10) juga melalui serangkaian proses yang panjang.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menjelaskan, SAF merupakan inisiatif perusahaan dalam menjawab regulasi, tantangan bisnis dan kebutuhan pasar terkait bahan bakar terbarukan dan rendah emisi di industri penerbangan, sekaligus mendukung komitmen pemerintah dalam capaian target nol emisi.
"Secara global, SAF juga sejalan dengan regulasi global di industri penerbangan internasional, untuk menggunakan bahan bakar ramah lingkungan sehingga industri penerbangan dapat berkontribusi pada penurunan emisi," katanya kepada detikcom, Senin (30/10/2023).
Pertamina SAF sebagai bahan bakar pesawat ramah lingkungan sudah diinisasi sejak 2010 melalui Divisi Research & Technology Innovation Pertamina, dengan melakukan riset pengembangan produk dan katalis. Proses pengembangan dan uji coba katalis dilakukan sejak 2015, hingga pada 2019 dilakukan produksi SAF dengan beberapa kali uji statis bersama lembaga terkait.
"Pada tahun 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi Co-Processing dari 2,4% bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO), atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas dan bau," ujar Fadjar.
![]() |
Upaya mewujudkan bioavtur terus berlanjut melalui kolaborasi dengan sejumlah pihak terkait, produk SAF kemudian melalui serangkaian uji coba pada mesin dan unit pesawat. Rangkaian pengujian tahun 2020-2021 dimulai dari cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia.
Kemudian pada tahun ini dilakukan uji terbang pesawat komersial milik Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023 pada pesawat Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia. Produk Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) akan dipasarkan dan didistribusikan melalui subholding PT Pertamina Patra Niaga.
"Hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional. Hal tersebut merupakan jawaban atas komitmen Pertamina dalam penyediaan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan, dan telah dipergunakan untuk commercial flight yang dilakukan hari ini," jelasnya.
Pertamina masih terus mengembangkan SAF untuk meningkatkan keandalan sebagai bahan bakar pesawat. Fadjar menyebut, beberapa hal penting bagi pengembangan SAF ini di antaranya research bahan bakar nabati, kecukupan suplai bahan bakar nabati, serta peningkatan kompetensi kilang-kilang Pertamina untuk bisa menjadi Green Refinery, sehingga bisa menambah kapasitas produksi SAF di antaranya di Kilang Plaju dan Kilang Dumai. Pertamina SAF merupakan bahan bakar ramah lingkungan sejalan dengan langkah Pertamina Go Green dengan menurunkan emisi dalam menjalankan operasional secara ramah lingkungan.
"Kelebihan dari SAF sebagai bahan bakar ramah lingkungan yang dapat menurunkan emisi gas, sehingga mendukung upaya pemerintah dan internasional untuk menurunkan emisi GHG. Penggunaan SAF juga sejalan dengan ketentuan industri penerbangan internasional yang akan mengatur penggunaan bahan bakar penerbangan ramah lingkungan," ujarnya.
Lebih lanjut, Fadjar menyatakan, penggunaan Pertamina SAF tidak berdampak terhadap mesin pesawat. Ketika mengemudikan pesawat, pilot juga tidak merasakan perbedaan respons mesin terhadap penggunaan Pertamina SAF. SAF memiliki banyak keunggulan salah satunya emisi yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar berbasis fosil pada umumnya.
Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan pada industri penerbangan, nantinya juga diwajibkan pada 2026 sesuai Framework CORSIA (Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation) dari International Civil Aviation Organization, di mana regulasi tersebut pada tahun ini masih pada fase Voluntary Pilot Phase.
"Berdasarkan hasil uji dan testimoni pilot, Pertamina SAF tidak memiliki dampak terhadap mesin pesawat. Pilot tidak menemukan perbedaan respon dari mesin pesawat atas penggunaan SAF, dibandingkan apabila menggunakan Avtur biasa," katanya.
Pertamina SAF merupakan hasil inovasi dan kolaborasi antara subholding Pertamina. Melalui fasilitas Green Refinery PT Kilang Pertamina Internasional di Kilang Cilacap, SAF menggunakan metode co-processing Hydrotreated Esters and Fatty Acids (HEFA), dan sesuai standar internasional. Nantinya SAF dipasarkan melalui PT Pertamina Patra Niaga untuk industri aviasi di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan kepada pasar aviasi internasional.
![]() |
Pertamina SAF Resmi Mengudara
Pada Jumat (27/10), Pertamina dan Garuda Indonesia melaksanakan penerbangan komersial perdana menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, Pertamina
Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau Bioavtur. Penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta (Tangerang) menuju Bandara Adi Soemarmo (Surakarta), dan kembali ke Jakarta dengan bahan bakar aviasi ramah lingkungan ini menjadi bukti kontribusi kolaborasi BUMN pada upaya penurunan emisi dan mendukung pencapaian target nol emisi.
Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina Alfian Nasution menambahkan, Pertamina memiliki komitmen untuk mendukung tercapainya target nol emisi dengan
mengembangkan peta jalan aset dekarbonisasi dan pembangunan green business, termasuk SAF untuk sektor aviasi.
"Penerbangan khusus ini akan menjadi tonggak sejarah di industri aviasi yang berkelanjutan. Masyarakat juga akan merasakan pengalaman baru, merasakan pemanfaatan energi terbarukan dan berkontribusi secara langsung pada penurunan emisi," jelas Alfian.
![]() |
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, berdasarkan informasi dari pilot yang melakukan uji coba, pemanfaatan bahan bakar ini tidak ada perbedaan yang signifikan dengan bahan bakar biasanya.
"Tadi sudah disampaikan oleh para pilot yang melakukan uji coba tidak ada perbedaan yang signifikan," katanya.
Pertamina akan menyiapkan dua kilang untuk memproduksi bahan bakar campur sawit untuk pesawat bernama Pertamina SAF. Alfian mengatakan, kapasitas produksi untuk bahan bakar tersebut saat ini baru 1.350 kiloliter (KL) per hari.
"Saat ini 1.350 KL per day. Namun kita menyiapkan Kilang Plaju, Kilang Dumai itu kan kilang green refinery kita berikutnya, nanti lihat kondisi lah," katanya.
Soal harga jual, Alfian mengatakan didiskusikan lebih lanjut. Dia bilang, harga bakar ini masih di atas harga avtur. "Mungkin kita diskusi lebih lanjut, yang jelas harganya di atas harga avtur," katanya.
(ara/ara)