Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) untuk pengembangan Carbon Capture Storage (CCS) ke depan. Terkait hal tersebut, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian ESDM bekerjasama dengan kementerian terkait menyusun regulasi CCS di luar wilayah kerja minyak dan gas bumi.
CCS sendiri sedang jadi perbincangan yang hangat. Topik ini dimunculkan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka dalam debat cawapres.
Dikutip dari keterangan Kementerian ESDM yang terbit pada pada 11 September 2023 lalu, disebutkan, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penerapan CCS/CCUS pada kegiatan hulu migas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk mendukung pengembangan CCS/CCUS, kami telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penerapan CCS/CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Migas. Ruang lingkup peraturan ini mencakup aspek teknis dan hukum sebagai bagian dari model bisnis hulu minyak dan gas Indonesia," ungkap Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji seperti dikutip detikcom, Rabu (27/12/2023).
Ke depan, rancangan Peraturan Presiden terkait CCS yang tengah disusun oleh Ditjen Migas Kementerian ESDM bersama dengan kementerian terkait akan mencakup pengaktifan CCS di luar Wilayah Kerja Migas. Peraturan ini juga harus mampu membuka peluang investasi melalui mekanisme perizinan. Disampaikan Tutuka, yang tidak kalah penting lagi bahwa rancangan Perpres ini dapat memungkinkan pengaktifan CCS dengan sumber CO2 dari industri lain.
Tutuka juga mengungkapkan pentingnya mengaktifkan CCS lintas batas. Selain itu, rancangan Perpres yang tengah disusun juga harus sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Lebih lanjut, Tutuka memaparkan beberapa pertimbangan urgensi penyusunan rancangan Peraturan Presiden tentang kegiatan CCS ini. Pertama, Access to Land and Pore Space for storage. Menurut Tutuka penting untuk membuat kejelasan hukum kepemilikan pore space dan kewajiban penyimpanan, serta memberikan akses terhadap lahan untuk pengembangan infrastruktur CCS.
Selain itu Tutuka juga menyoroti pentingnya Legal and Policy Certainty, di mana kerangka peraturan CCS perlu terdefinisi dengan baik untuk memberikan kepastian bisnis, menarik investasi, mendorong inovasi dan komitmen jangka panjang terhadap inisiatif dekarbonisasi.
Berikutnya urgensi tentang Safety And Environmental Compliance. Tutuka menyampaikan perlu ada pedoman yang jelas untuk operasi CCS, termasuk standar perlindungan dan keselamatan lingkungan, yang selaras dengan persyaratan lingkungan.
Selanjutnya tentang Ease of Licensing Process. Menurut Tutuka dalam pengembangan investasi CCS maka diperlukan proses perizinan yang sederhana dan juga cepat.
"Perlu kejelasan peran dan tanggung jawab masing-masing lembaga pemerintah yang terlibat. Hindari penundaan birokrasi yang dapat menghambat operasional," imbuh Tutuka.
Selain itu, pihaknya juga menyoroti tentang Cross Border Carbon Liability. Menurut Tutuka hal ini penting dilakukan untuk memastikan Indonesia terlindungi. Melalui perjanjian bilateral atau multilateral, pemerintah harus memastikan pembagian tanggung jawab dan risiko, termasuk kebocoran yang mungkin saja terjadi.
Terakhir terkait Fiscal Incentives for CCS Project Development. Investasi pada teknologi CCS bersifat padat modal dan memerlukan komitmen jangka panjang. Oleh karena itu Tutuka berpendapat bahwa penting untuk memberikan insentif bagi pionir industri ini sekaligus memastikan keekonomian proyek yang layak pada teknologi CCS ini.
(acd/rrd)