Harga nikel sedang turun. Kondisi ini membuat sejumlah negara seperti Australia dan Prancis protes.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto menerangkan rata-rata harga nikel dalam 10 tahun terakhir sebesar US$ 15.000 per ton.
Harga tersebut lebih rendah dari harga saat ini di sekitar US$ 17.000. Seto justru mengaku bingung ada yang protes turunnya harga nikel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, meski turun, harga nikel saat ini masih lebih tinggi dari rata-rata 10 tahun terakhir.
"Saya juga terus terang agak bingung kenapa kemudian kaya Australia, Kaledonia, Prancis kemudian protes terkait dengan harga nikel ini," katanya dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2024, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Ia pun memperkirakan, hal itu dipengaruhi dua hal. Pertama, kebanyakan proyek nikel seperti di Australia dimulai saat harga nikel di atas US$ 20.000 per ton.
"Jadi mereka memang menjalankan proyek itu berharap harga nikel terus tinggi," katanya.
Kedua dari segi efisiensi. Ia menyebut proyek nikel seperti di Kaledonia Baru sudah banyak yang tidak efisien.
"Kaya di Kaledonia Baru itu saya kira memang proyeknya sudah banyak tidak efisien, dari segi smelter, investasinya. Jadi ya memang akan sulit berkompetisi ke depannya," ujarnya.
(acd/hns)