Menteri ESDM Pastikan Program Harga Gas Murah Industri US$ 6 Dilanjut!

Menteri ESDM Pastikan Program Harga Gas Murah Industri US$ 6 Dilanjut!

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Senin, 06 Mei 2024 20:00 WIB
Petugas melakukan perawatawan rutin instalasi stasiun gas di salah satu rumah warga di Desa Wisata Berkelanjutan Karangrejo, Borobudur, Magelang , Jawa Tengah, Rabu (2/11/2022). Guna mendukung program destinasi super prioritas pemerintah dan mewujudkan kawasan wisata ramah lingkungan PT PGN Tbk membangun pipa gas sepanjang 3.900 meter untuk melayani 204 sambungan jaringan Gas Bumi rumah tangga dan homestay di kawasan wisata Borobudur. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/rwa.
Foto: ANTARA FOTO/ANIS EFIZUDIN
Jakarta -

Menteri Energi Sumber Daya Energi dan Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memastikan bahwa program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) US$ 6 per MMBTU ke industri akan terus berlanjut. Hal ini selaras dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam meningkatkan daya saing RI.

Arifin menjelaskan, dilanjutkannya program harga gas 'murah' ini dapat membantu mendorong pertumbuhan tujuh kelompok industri penerima manfaat. Adapun ketujuh industri itu mulai dari pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet.

"Ini insyaallah sih akan dilanjutkan. Dan kita juga sedang berupaya kan membangun lagi infrastruktur gas ya. Supaya memang bisa dimanfaatkan," kata Arifin, ditemui di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Senin (6/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tadi kan Pak Presiden harapnya gini. Kita harus kompetitif kan. Harus punya rencana taktis ya. Taktis yang bisa meningkatkan competitiveness (daya saing) kita kan. Itulah salah satu ide itu dengan harga gas itu," sambungnya.

Di samping itu, Arifin menambahkan bahwa pemerintah saat ini terus menggenjot pembangunan infrastruktur gas. Adapun infrastruktur ini nantinya juga bisa dimanfaatkan untuk program jaringan distribusi gas (jargas) ke rumah tangga.

ADVERTISEMENT

"Pak Presiden kan bilang ini jalur utamanya, cabangnya di mana, sama gas juga gitu. Nanti juga bisa jadi jargas itu. Jargas itu bisa gantiin LPG, impor. Kalau nggak, kan makanya devisa kita habis semua. Sedangkan kan kita produksi gasnya akan banyak," terangnya.

Sebagai tambahan informasi, sebelumnya Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, pihaknya ingin program HGBT terus dilanjut dan diperluas ke lebih dari tujuh sektor sektor industri.

"HGBT selalu kita akan perjuangkan, kita semua paham manfaat HGBT jadi kalau surat evaluasi yang diinginkan oleh 'ESDM' itu sudah kami kirim. Jadi, kami berharap ESDM segera mengeluarkan kebijakan untuk memberikan HGBT sesuai dengan Perpres, belum lagi kalau kita bicara di luar 7 subsektor itu yang saya inginkan," katanya saat ditemui di Gedung Kemenperin, Jakarta Selatan, Selasa (16/4/2024).

"Saya maunya, bukan tambahan, saya maunya semua sektor itu bisa mendapat manfaat dari HGBT bukan hanya tujuh, tapi tujuh aja masih carut marut. Laporan di lapangan itu luar biasa lah," tambahnya.

Di sisi lain, sejumlah pihak justru memandang bahwa kebijakan harga gas 'murah' ini membebani negara. Apalagi dengan berkaca pada nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan terus melemah, serta kemungkinan pemerintah menaikkan impor BBM menjadi 850 ribu barel per day akibat penurunan produksi migas nasional.

"Sebaiknya kebijakan insentif harga gas khusus (HGBT) perlu dievaluasi ulang. Pertama, memertimbangkan risiko geopolitik yang bisa mendorong harga gas lebih tinggi dan pelemahan kurs Rupiah," ungkap Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, dihubungi, Minggu (20/4/2024).

Dalam kondisi terjadinya kenaikan harga gas, menurutnya, maka beban dari program HGBT akan meningkat sehingga risiko terhadap sektor minyak dan gas (migas) menjadi lebih tinggi dan potensi kehilangan pendapatan negara menjadi lebih besar. "Padahal APBN juga dibebani subsidi energi yang melebar," tegasnya.

Pertimbangan kedua kenapa program yang sudah berjalan sejak pandemi Covid-19 dijalankan yaitu pada 2020 ini tidak disarankan diteruskan adalah karena insentif melalui HGBT sejauh ini belum banyak dirasakan manfaatnya. "Deindustrialisasi tetap terjadi. Porsi industri saat ini hanya di kisaran 18% dari PDB. Tujuan insentif gas agar tercapai proses industrialisasi ternyata bisa dibilang gagal," Bhima menjelaskan.

(shc/rrd)

Hide Ads