Indonesia kembali memanfaatkan ajang Forum Hutan PBB atau United Nation Forum on Forest (UNFF) untuk memperoleh dukungan dalam mengejar target penurunan emisi gas rumah kaca. Salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan membangun kemitraan dalam mendukung program-program 'hijau', seperti perdagangan karbon (carbon trading).
Di hari ketiga gelaran UNFF, Indonesia menggelar pertemuan bilateral dengan Malaysia. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong. Sementara 'negeri jiran' diwakili Menteri Sumber Daya Alam dan Kelestarian Lingkungan, Nik Nazmi Nik Ahmad.
Dalam pertemuan, Malaysia mengajak Indonesia membangun kerjasama yang menunjukkan sifat dukungan timbal balik (mutual recognition) dalam mengatur dan mengelola perdagangan karbon. Usulan itu mendapat respons positif, terlebih Indonesia dan Malaysia menunjukkan agresifitasnya untuk tak hanya sekedar mencapai target nol karbon, tetapi juga berfungsi sebagai pusat penangkapan, penggunaan dan penyimpanan karbon untuk negara-negara di kawasan regional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya pikir ya gagasan itu sangat bagus juga karena Indonesia juga sudah mulai merintis membangun kemitraan dengan berbagai negara. Saya sarankan supaya bisa jalan bilateral carbon trading Indonesia-Malaysia. Harus diperhatikan, dibahas dulu secara teknis antar kedua negara", kata Alue Dohong usai pertemuan yang digelar pada Rabu (8/5/2024) di markas PBB, New York, Amerika Serikat.
Tercatat sejumlah sistem pendukung perdagangan karbon yang disiapkan Indonesia juga diaplikasikan di Malaysia. Meski demikian, Wamen Alue Dohong mendorong perlu ada pembicaraan secara teknis agar sistem yang terbangun di kedua belah negara dapat diintegrasikan.
"Malaysia punya Sistem Registrasi Nasional, duduk bareng, presentasi masing-masing, dilihat kompatibilitasnya sama apa enggak?, kalau ada beda, bagaimana cara mengharmonisasikan dan mengintegrasi perbedaan itu?. Kedua, kita juga punya MRV system (pengukuran, pelaporan dan verifikasi). Nah, Malaysia (juga) punya MRV system. Duduk juga bareng-bareng, presentasi secara teknis, apakah MRV ini ada kompatibilitas atau ada perbedaan dan sebagainya sehingga dibangun kesamaan, common agreement," jelasnya.
Kemudian yang ketiga, kita punya sistem sertifikasi nasional, SPEI (Sertifikasi Penurunan Emisi Indonesia). Malaysia punya sistem juga. Nah, ini duduk bareng juga, lihatin sama-sama, kalau sudah sepakat tiga hal atau empat hal, yang lainnya, misalnya pasarnya, bursanya dan sebagainya maka perlu setelah itu ada yang disebut dengan mutual recognition agreement antara kedua negara, sehingga nanti kalau kita jual sertifikasi pengurangan emisi kita, SPEI kita ke Malaysia, di sana sudah diterima, diakui. Begitu juga sebaliknya," papar Alue Dohong.
Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Konsep perdagangan ini tak jauh beda dengan transaksi jual beli di pasar konvensional. Pembeli emisi karbon biasanya berasal dari negara-negara yang menjalankan industri berskala besar, sementara penjual sertifikatnya adalah negara yang memiliki hutan luas sebagai penyerap karbon.
(ids/rrd)