Sebagai tambahan informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah sedang membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBET), salah satu yang sedang alot dibahas terkait skema power wheeling.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai pasal power wheeling dalam RUU EBET melanggar konstitusi, mengurangi pendapatan negara, dan menggerus Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengizinkan Independent Power Plant (IPP) menjual listrik secara langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara," katanya Fahmi Radhi dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/9/2024).
Menurutnya, power wheeling justru akan menggerus pendapatan negara, lantaran 90% penjualan listrik berasal dari pelanggan industri.
"Selain menggerus pendapatan negara, skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermittent dipengaruhi matahari dan angin," ungkap Fahmy.
Peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Kalau tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, maka negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi dari biaya operasional ketenagalistrikan.
Membengkaknya pengeluaran APBN untuk kompensasi tersebut sudah pasti akan menggerus APBN yang berpotensi mengurangi anggaran APBN untuk membiayai program strategis Presiden terpilih Prabowo Subianto, termasuk program makan bergizi gratis.
Senada, Anggota Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI), Riki Firmandha, menilai bahwa skema power wheeling bakal berisiko mengerek tarif dasar listrik dan memperbesar anggaran subsidi yang diberikan oleh negara.
Riki menjelaskan, masuknya power wheeling berisiko membuat harga listrik energi terbarukan menjadi berbeda dengan harga listrik yang sudah ditetapkan pemerintah. "Proses distribusinya pun akan membuat biaya energi makin mahal karena negara akan kesulitan menentukan tarif dasar listrik," kata Riki, dihubungi, Jumat (6/9/2024).
Ia berharap agar RUU EBET lebih fokus pada insentif yang diberikan kepada pengembang energi baru terbarukan. "Bukan malah melegitimasi liberalisasi sistem ketenagalistrikan," ungkapnya.
Simak juga Video 'Inovasi Energi Terbarukan dan Terobosan PLTA dari PT Vale Indonesia Tbk':
(shc/ara)