Kelompok masyarakat dan individu yang tergabung dalam Tim Advokasi Tolak Tambang mengajukan Judicial Review atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 terkait pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan ke Mahkamah Agung (MA). Menurut mereka aturan ini memiliki cacat hukum hingga berpotensi merusak lingkungan hidup.
Kepala Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam LHKP Muhammadiyah Pusat, Wahyu Agung Perdana, berpendapat pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan ini menyalahi Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Selain itu, pemberian izin tersebut juga tidak sesuai dengan tujuan pembentukan ormas yang tercantum dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara substansi juga banyak beberapa catatan dalam PP ini karena satu tentu bertentangan dengan rencana panjang kita soal transisi energi. Kalau kemudian pilihannya adalah upaya perlindungan lingkungan hidup, maka harusnya adalah upaya pemulihan lingkungan hidup, bukan justru kemudian membagi-bagi IUP tambang pada ormas keagamaan," terang Wahyu di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Selasa (1/10/2024).
"Kedua, PP ini juga muncul pada tahun politik di penghujung tahun politik. Kalau kita lihat Undang-Undang Ormas sebagai salah satu batu uji kami selain Undang-Undang Minerba, tidak dikenal kemudian tujuan dalam konteks ekonominya pertambangan. Justru muncul tujuan ormas dalam Undang-Undang Ormas adalah upaya perlindungan lingkungan hidup," sambungnya.
Selain cacat secara hukum menurut para pemohon aturan izin tambang untuk ormas keagamaan ini dapat memberikan sejumlah dampak buruk terhadap lingkungan hidup hingga masyarakat sekitar. Selain itu PP ini juga dinilai dapat memperlambat upaya pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk transisi menuju energi bersih.
Sementara itu pihak lain yang mengajukan permohonan Judicial Review, Arma Yanti Sanusi selaku perwakilan dari Solidaritas Perempuan mengklaim aktivitas tambang di berbagai daerah terbukti memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial masyarakat khususnya perempuan.
"Berdasarkan catatan Solidaritas Perempuan, setidaknya aktivitas tambang yang terjadi di Morowali, aktivitas nikel, kemudian yang terjadi di Aceh Besar, Provinsi Aceh, dan juga yang terjadi pada tambang batu andesit di Wadas, memberikan dampak yang sangat negatif terhadap perempuan," kata Arma.
Menurutnya salah satu dampak terburuk dari aktivitas pertambangan yang kini juga diberikan kepada ormas keagamaan adalah limbah yang dihasilkan. Arma mengklaim limbah hasil tambang ini bisa mengancam kesehatan reproduksi banyak perempuan hingga meningkatkan pengidap infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di daerah tersebut.
"Di Morowali misalnya, kita melihat bagaimana kemudian perempuan di sana, tidak hanya sumber penghidupannya yang kemudian diputus, tetapi juga ada ancaman kesehatan reproduksi akibat dari limbah-limbah tambang. Dan juga bicara bagaimana kemudian perempuan dan anak-anak hampir 80% mengidap ISPA," terangnya.
Lebih lanjut alasan-alasan pengajuan Judicial Review ini ditegaskan kembali oleh perwakilan Kuasa Hukum Para Pemohon, M Raziv Barokah. Ia mengatakan PP ini cacat hukum karena dalam UU Minerba, pihak-pihak yang berhak mendapat prioritas izin tambang hanya perusahaan-perusahaan BUMN, sehingga salah jika izin ini diberikan kepada ormas keagamaan.
"PP ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang yang secara hukum lebih tinggi posisinya diatas PP. Bahwa undang-undang Minerba itu mengatur bahwa salah satu pihak yang diberikan prioritas dalam rangka pertambangan itu hanya satu, yaitu BUMN. Dan pasal itu tidak lahir serta-merta, tapi lahir berdasarkan penafsiran mahkamah konstitusi yang panjang," terangnya.
Kemudian penetapan PP ini dinilai juga berpotensi besar memicu konflik horizontal antara masyarakat adat sekitar tambang dengan ormas terkait.
Selain itu menurutnya sangat tidak tepat jika izin tambang diberikan kepada ormas keagamaan yang secara kelembagaan bersifat sosial, bukan untuk mencari keuntungan dan jauh dari nilai-nilai bisnis.
"Sekarang ormas keagamaan, bukan tidak mungkin, nanti juga akan dilakukan kepada ormas kepemudaan misalnya, ormas profesi, ormas industri dan lain sebagainya. Sehingga akan mendorong hasrat yang semakin berlebih dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah-wilayah di Indonesia," tegasnya.
Simak Video: Mereka yang Menolak dan Mendukung Ormas Agama Kelola Tambang