Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menyatakan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca bukan hanya menjadi tanggungjawab Indonesia, melainkan secara global. Oleh karena itu, untuk menyuntik mati pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) diperlukan biaya dari global.
"Suntik mati PLTU pada dasarnya kami membangun suatu kriteria. Kalau ada usulan dari manapun, bahwa ini harus cost neutral. Jadi kalau ada penambahan biaya, yang nanggung bukan pemerintah Indonesia, bukan PLN karena penurunan emisi gas rumah kaca ini dampaknya bagi global community, bukan bagi Indonesia saja," kata Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Mengutip data dalam gelaran COP 29 di Baku, Azerbaijan, Darmawan mengatakan Indonesia mengeluarkan emisi 3 ton per kapita per tahun. Jumlah itu lebih kecil dibandingkan Eropa yang sekitar 8-9 ton per kapita per tahun, Amerika Serikat 13-14 ton per kapita per tahun, Singapura 11 ton per kapita per tahun, Australia 16-17 ton per kapita per tahun, dan Saudi Arabia 20 ton per kapita per tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, Darmawan mengaku sangat berhati-hati dalam menghentikan penggunaan batu bara. Pasalnya ketika PLTU harus disuntik mati, PLN harus membangun pembangkit baru berbasis energi baru terbarukan (EBT).
"Maka untuk yang coal phase out ini memang kami sangat berhati-hati. Jadi kalau ada penambahan cost, karena begitu pembangkitnya dikeluarkan, kami harus membangun pembangkit baru berbasis pada EBT. Ada penambahan investasi, kemudian belum lagi investasi yang dulu. Jadi bagi kami, ya kalau bisa ada dana internasional gratis yang cost neutral," ucapnya.
Menurut hitungannya, menyuntik satu PLTU akan dikenakan tambahan biaya sekitar Rp 30 triliun sampai Rp 50 triliun. Ketika PLN beralih ke EBT, sistemnya harus terjaga keandalannya dan saat bersamaan konsep yang dicanangkan harus futuristik.
"Tentu saja kami berkomunikasi secara lugas kepada global investor, global communities, lho monggo saja kalau memang ada yang mau memberikan (pendanaan) dalam jumlah yang besar, kemudian pembangkit kami diganti dengan yang lebih fresh yang futuristik dan menguntungkan bagi pemerintah, PLN, rakyat, why not," imbuhnya.
Darmawan mengakui pengalihan PLTU menjadi EBT tidak semudah yang diperkirakan. Intinya pihaknya memberikan sinyal positif bagi komunitas global untuk ikut serta dalam mendukung Indonesia menuju keberlanjutan.
"Kalau memang ada global communities yang mampu menyediakan dana untuk agar cost neutral, ya kami open-open saja dan ini tentu saja tidak semudah yang dipikirkan semuanya, tapi yang jelas kita mendukung itu," tegasnya.
(acd/acd)