Majelis hakim pengadilan tinggi memperberat vonis hukuman para pelaku tindak pidana korupsi tata kelola timah sebesar Rp 300 triliun mulai dari Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi, Harvei Moeis hingga Helena Lim.
Untuk Riza Pahlevi divonis hukuman 20 tahun penjara dari sebelumnya hanya 8 tahun penjara, Harvei divonis 20 tahun penjara dari sebelumnya 6,5 tahun penjara, dan Helena Lim divonis divonis 10 tahun penjara dari sebelumnya 5 tahun penjara.
Pakar Hukum Universitas Sahid, Saiful Anam menilai vonis tersebut melanggar prinsip dasar hukum pidana, khususnya terkait kejelasan kerugian dan unsur tindak pidana yang dilakukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyatakan bahwa vonis 20 tahun penjara terhadap Harvey Moeis dinilai terlalu berat. Terlebih, kerugian yang dituduhkan masih bersifat potensial dan tidak riil.
"Jadi kerugian yang bersifat potensial tidak jelas berapa, jumlahnya pun tidak dapat ditentukan berapa, sehingga tidak adil jika yang bersangkutan dikenakan hukuman sampai dengan 20 tahun," kata Saiful di Jakarta, Jumat (14/2/2025).
Ia menjelaskan, dalam hukum pidana terdapat prinsip Lex Scripta dan Lex Certa, yang mengharuskan rumusan delik pidana harus jelas dan tertulis.
Saiful juga menegaskan bahwa pengadilan harus berimbang dalam mempertimbangkan kesalahan dan perbuatan yang dilakukan.
"Jangan sampai seseorang yang tidak melakukan tindak pidana dan tidak merugikan siapapun dipaksa untuk mempertanggungjawabkannya," tambahnya.
Menurutnya, Harvey Moeis seharusnya divonis bebas karena unsur-unsur tindak pidana tidak terpenuhi secara jelas.
"Jika tidak jelas nilai kerugiannya terlebih korporasi yang diduga menyebabkan kerusakan lingkungan masih berproses dalam persidangan, maka ada keadilan yang tidak dapat ditolerir. Mestinya Harvey Moeis dibebaskan dari segala tuntutan hukum," tambahnya.
Sementara itu, Penasihat Hukum Harvey Moeis, Junaedi Saibih menyayangkan putusan pengadilan yang dinilai tidak mempertimbangkan Ratio Legis (asas hukum) dan lebih mengedepankan Ratio Populis (kepentingan publik).
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, telah wafat Rule of Law pada hari Kamis, 13 Februari 2025, setelah rilisnya bocoran putusan pengadilan tinggi," ujarnya dengan nada prihatin.
Junaedi berharap hukum dapat tegak kembali dan Ratio Legis tidak dikalahkan oleh Ratio Populis.
"Akrobatik hukum atas penggunaan ketentuan hukum yang salah adalah pembangkangan atas legalitas," tegasnya.
Ia menerangkan bahwa, dalam kasus ini kliennya hanya berdiskusi terkait rencana bisnis PT Timah dengan swasta untuk meningkatkan produksi, dan hasilnya terbukti.
"Terbukti produksi PT Timah meningkat dan perusahaan tersebut untung hingga Rp1 triliun," ujar Junaedi.
(rrd/rir)