Langkah PT Timah (Persero) Tbk yang mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.
Prof. Romli Atmasasmita menilai upaya tersebut bertentangan dengan tujuan regulasi itu sendiri dan berpotensi menimbulkan kerugian negara yang sangat besar.
Menurut Prof. Romli, uji materi terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Tipikor tersebut tidak memiliki dasar hukum yang rasional. Pasal yang digugat mengatur mengenai pembayaran uang pengganti yang jumlahnya harus sebanyak-banyaknya sesuai dengan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, yang menurut Romli bisa berisiko.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau itu disetujui MK, kerugian negara bisa banyak sekali. Itu menurut saya tidak logis, tidak bisa dipertimbangkan dan kurang dapat dipertanggungjawabkan," ujar Romli dalam wawancaranya, Jumat (14/3/2025).
Lebih lanjut, Romli menjelaskan bahwa konsep uang pengganti dalam UU Tipikor seharusnya merujuk pada nilai harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, bukan berdasarkan kerugian negara yang terjadi akibat korupsi itu sendiri. Hal ini, menurutnya, akan sangat membebani pihak yang terlibat dalam tindak pidana.
"Kalau soal nilai yang diubah menjadi kerugian negara yang harus diganti, mati kita. Ini bisa menyebabkan terdakwa dibebankan uang pengganti hingga ratusan triliun rupiah," tegasnya.
Romli mencontohkan perkara dugaan korupsi dalam komoditas timah yang melibatkan pengusaha Harvey Moeis dan sembilan terdakwa lainnya, di mana jika gugatan ini dikabulkan, para terdakwa bisa dibebani uang pengganti yang sangat besar, bahkan bisa mencapai Rp217 triliun, seperti yang terjadi pada kasus kerugian lingkungan hidup.
Romli juga menegaskan bahwa UU Tipikor yang saat ini berlaku di Indonesia, yakni UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diamandemen dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, sudah cukup jelas dalam mengatur sanksi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk soal uang pengganti yang harus disesuaikan dengan harta benda yang diperoleh akibat kejahatan tersebut.
"Sudah cukup jelas, sebanyak-banyaknya harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan. Kalau itu dihitung berdasarkan kerugian negara, maka itu akan sangat tidak proporsional dan membahayakan banyak pihak," tegas Romli.
(rrd/rir)