Selat Hormuz, Nuklir, dan Eskalasi Krisis

Kolom

Selat Hormuz, Nuklir, dan Eskalasi Krisis

M. Kholid Syeirazi - detikFinance
Rabu, 25 Jun 2025 12:36 WIB
Serangan rudal Iran menghantam kawasan permukiman Beer Sheva, Israel. Konflik Israel–Iran terus memanas dan menimbulkan korban sipil.
Foto: REUTERS/Amir Cohen

Ini dalih Israel menyerbu Iran. Terlepas adakah bukti Iran sudah punya senjata nuklir, perang saat ini membuktikan Iran bukan negara 'kaleng-kaleng' dan Israel ketemu lawan tanding sepadan.

Berbeda dengan Iran, Amerika dan Eropa menerapkan standar ganda terhadap Israel. Israel dibiarkan tidak meratifikasi traktat non-proliferasi (NPT). Israel membangun senjata nuklir, sebagaimana dibocorkan oleh mantan teknisinya, Mordechai Vanunu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ini terungkap dalam artikel heboh di The Sunday Times pada Oktober 1986 bertajuk "Revealed: the secrets of Israel's nuclear arsenal." Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) melaporkan, Israel sudah mempunyai 90 hulu ledak nuklir. Jika Iran dan Israel sama-sama telah mempunyai senjata nuklir, terbuka prospek untuk saling menahan diri. Di antara konsensus negara nuklir, mereka sepakat untuk tidak lumat oleh senjata yang dibuat sendiri.

Dampak bagi Indonesia

ADVERTISEMENT

Konflik akan eskalatif jika Iran betul-betul menutup selat Hormuz. Dunia, termasuk Indonesia, akan merasakan dampaknya. Saat pasokan seret, harga minyak melambung.

Indonesia tidak seperti dulu, saat pecah perang Yom Kippur pada 1973. Ketika Arab-Israel tegang, Indonesia justru menikmat windfall profit dari kenaikan harga minyak dunia.

Saat itu, status Indonesia adalah eksportir. Sekarang Indonesia importir netto. Setiap kenaikan 1 US$ harga minyak, APBN diperkirakan tekor Rp 1,5 triliun untuk subsidi dan kompensasi.

Sekarang harga minyak sudah merambat naik mendekati asumsi APBN 2025 sebesar US$ 82 per barel. Jika selat Hormuz ditutup, harga minyak akan melambung di atas US$ 100 per barel. Dunia akan demam. Dampak krisis akan meluas. Krisis energi bisa menjadi pintu masuk bagi krisis politik dan ekonomi.

Indonesia mengandalkan sebagian impornya dari Timur Tengah, baik minyak mentah maupun produk kilang. Pada 2024, dari total impor crude sebesar 125,7 juta barel, Indonesia mengimpor dari Arab Saudi sebesar 25,6 juta barel (20,3%). Untuk produk kilang, dari 275,2 juta barel impor, Indonesia mengimpor dari Arab Saudi 13,4 juta barel (4,8%), Uni Emirat Arab 12,5 juta barel (4,6%), Qatar 6,5 juta barel (2,3%), Kuwait 3,9 juta barel (1,4%), dan Bahrain 1,2 juta barel (0,4%).

Ini negara-negara yang jalur pelayarannya melewati Selat Hormuz. Dari total impor, risiko gangguan pasokan dari Selat Hormuz mencapai 16%. Indonesia bisa mengalihkan rute ke alternatif lain, tetapi biaya logistiknya lebih mahal.

Dampak lain bagi Indonesia adalah tekanan fiskal. Jika harga minyak tembus di atas US$ 100 per barel, Indonesia harus memikul beban subsidi lebih berat. Pada 2024, beban subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp 407,1 triliun.

Bagi APBN yang sudah defisit sejak awal tahun, kondisi ini akan memaksa Pemerintah memangkas subsidi. Ini dilakukan dengan menaikkan harga energi, baik BBM maupun listrik. Di tengah penurunan daya beli, langkah ini bisa menimbulkan gejolak sosial dan politik. Karena itu, pemerintah perlu mengantisipasi potensi krisis ini sejak dini.


M. Kholid Syeirazi
Direktur Eksekutif Center for Energy Policy
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UI

Simak juga Video: Harga Minyak Dunia Diprediksi Meroket Usai AS Serang Iran


(ang/ang)

Hide Ads