Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) terhadap industri sebagai sesuatu yang janggal. Masalah pasokan HGBT ini membuat resah sejumlah industri.
Menurut Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, pasokan cenderung lancar jika dibeli dengan harga US$ 15 per MMBTU, sementara jika mengikuti HGBT, yakni US$ 6,5 MMBTU sampai US$ 7 MMBTU maka pasokannya tidak tersedia.
"Kami dari Kementerian Perindustrian menyampaikan bahwa ada yang aneh dalam krisis gas kali ini. Di mana industri bisa mendapatkan gas di harga di atas US$ 15, tapi gas yang berharga US$ 6,5 atau US$ 7 per MMBTU itu justru pasokannya kurang," ujar Febri di PT Doulton, Tangerang, Banten, Kamis (21/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai informasi, ada tujuh subsektor penerima manfaat HGBT, yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.
Febri juga menyebut pasokan gas ke industri, khususnya industri keramik belum aman karena produsen gas memberlakukan kuota harian 70%. Produsen juga memberlakukan tarif surcharge hingga 120% jika industri memakai gas melebihi kuota harian tersebut.
Menurut Febri, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai produsen sempat mencabut status darurat pasokan gas kepada para pelanggannya. Namun, dari industri masih mengeluhkan pasokan yang belum sepenuhnya aman, terlebih jika ada kuota harian dan tarif surcharge.
"Kami cek tadi, mungkin pasokannya masih belum cukup aman dan stabil dari kacamata industri. Industri masih memandang belum stabil dari sisi pasokan harian dan surcharge, jika penggunaan gas itu di atas batasan pasokan harian yang 70% dan itu kami sepakat dengan industri bahwa itu membuktikan bahwa masalah pasokan gas bagi industri masih belum selesai," beber Febri.
Artinya, produsen gas belum mencabut status darurat pasokan sebagaimana surat yang telah dikirimkan kepada pelanggan pada 15 Agustus 2025. Menurut Febri, temuan ini akan dilaporkan langsung kepada Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Kemenperin sudah menerima 10 pengaduan dari berbagai industri dan asosiasi industri terkait persoalan ini. Febri juga menuntut adanya kejelasan dari produsen gas, atau mengembalikan mekanisme pasokan gas sebelumnya.
"Ya maksudnya tidak ada pembatasan pasokan 70% setiap hari misalnya seperti itu. Atau kemudian ada juga kalau lebih memakai itu kemudian harganya kena sampai 120%. Nah maksud kami yang seperti itu sebaiknya tidak ada," tutur Febri.
Bisa Berdampak ke Investasi
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief (tengah)/Foto: Ilyas Fadilah/detikcom
|
"Misalkan industri keramik ini memasuk banyak kebutuhan keramik di dalam program 3 juta rumah. Kalau seandainya pasokan gasnya tidak lancar atau juga gasnya harganya tinggi, itu akan menurunkan daya saing produk terutama dari sisi harga. Nah kalau harga keramik naik dari harga yang saat ini tentu akan menekan besaran subsidi pemerintah terhadap program 3 juta rumah," jelas Febri.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto menyebut ada 3 perusahaan anggota ASAKI yang merumahkan karyawannya. Total karyawan yang dirumahkan mencapai 900 orang.
"Hari ini sekitar 900 karyawan yang sudah dirumahkan. Nah bagi kami, tentu kami mengharapkan bahwa situasi ini bisa segera diatasi, bisa kembali normal. Normal dalam artian dari kacamata kami dari sisi industri bahwa kalau normal seharusnya sudah tidak lagi dikenalkan kuota harian," terang Edy.
Ia menjelaskan, industri tidak mungkin bisa merencanakan produksi dengan baik jika ada kuota harian. Untuk industri keramik butuh waktu lebih dari 24 jam untuk mematikan tungku bakarnya dari 1.200 derajat ke titik 0.
"Sebaliknya menghidupkan juga butuh waktu lebih daripada 24 jam. Mulai dari 0 sampai 1.100-1.200 derajat. Jadi ini membutuhkan proses. Dengan kondisi masih berlaku kuota harian, ini tetap akan memaksa teman-teman untuk tidak berani produksi kembali," imbuhnya.
Ia juga meminta surcharge 120% yang bisa mencapai US$ 15 per MMBTU sudah terlalu mahal. Terlebih, industri keramik tidak memiliki pilihan energi lain yang bisa mensubstitusi gas.
"Gas adalah satu-satunya nyawa untuk industri keramik. Sehingga terbukti pada hari ini, begitu tekanan gasnya tidak normal, stop produksi. Kenapa? Tidak ada pilihan, tidak ada substitusinya. Jadi sekali lagi kami juga sangat mengharapkan kehadiran pemerintah," tutup Edy.
Tonton juga video "BGN Imbau Masyarakat Bercocok Tanam-Beternak untuk Pasokan MBG" di sini: