Pertama di Indonesia, Minyak Jelantah Jadi Bahan Bakar Pesawat

Heri Purnomo - detikFinance
Jumat, 22 Agu 2025 10:57 WIB
Foto: Pertama di Indonesia, Minyak Jelantah Jadi Bahan Bakar Pesawat. Foto: Pertamina
Jakarta -

Indonesia resmi memanfaatkan minyak goreng bekas atau yang biasa disebut jelantah (Used Cooking Oil - UCO) yang telah diolah menjadi bahan bakar pesawat. Pemanfaatan ini ditandai dengan diluncurkannya penerbangan perdana yang dilakukan maskapai Pelita Air rute Jakarta-Bali.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, mewakili Menteri ESDM, mengatakan pemanfaatan ini dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) yang dilabeli Sustainable Aviation Fuel (SAF) dan menghasilkan energi bersih, memangkas emisi karbon, serta ramah lingkungan. Kementerian ESDM kata Dadan langkah ini sejalan dengan program prioritas Presiden Prabowo.

"Ini adalah program Pak Presiden, Asta Cita harus terus kita laksanakan. Ketahanan energi, dan untuk yang ini tidak hanya ketahanan energinya, tapi juga swasembadanya. Jadi kemandiriannya juga semakin kuat," ujar Dadan dalam keterangan tertulis dikutip Jumat (22/8/2025).

Pertamina menyatakan SAF berbahan baku UCO ini mampu memangkas emisi karbon hingga 84 persen dibandingkan avtur fosil. Hal ini menjadi salah satu daya tarik utama dari inovasi yang dikembangkan di Kilang RU IV Cilacap, karena menawarkan peluang konkret bagi industri penerbangan untuk menurunkan jejak karbonnya tanpa mengorbankan standar keselamatan dan performa.

Secara teknis, bioavtur yang diproduksi di RU IV Cilacap telah memenuhi standar kualitas nasional melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 70 Tahun 2025, serta standar internasional ASTM D1655 dan Defstan 91-091, syarat penting agar bahan bakar tersebut dapat dipakai aman pada pesawat terbang.

Untuk memastikan pasokan bahan baku yang stabil, Pertamina merangkul masyarakat lewat program pengumpulan minyak jelantah. Saat ini 35 titik pengumpulan telah didirikan di lokasi-lokasi strategis, memberi kemudahan bagi warga mengelola limbah rumah tangga sekaligus menerima saldo rupiah sebagai insentif.

Dadan mengatakan, momentum hari ini menegaskan bahwa transisi energi bersih di Indonesia bukan sekadar wacana, melainkan rangkaian langkah praktis, mulai dari pemanfaatan potensi bioenergi, integrasi teknologi kilang, dan partisipasi masyarakat dalam pasokan. Kendati begitu, masih ada pekerjaan rumah, terutama pada pengembangan bioetanol dan penguatan kerja sama lintas lembaga.

"Pertamina bersama seluruh stakeholders sudah membuktikan kita ini raja untuk biodiesel di dunia. Tidak ada yang mengalahkan untuk yang ini. Tapi kita masih punya tantangan untuk yang bioetanol. Banyak pekerjaan sudah dilakukan, memang kami mengajak bahwa tidak bisa hanya sektor hilir yang bertanggung jawab," tuturnya.

Pengembangan SAF ini bukan lompatan tanpa jejak. Sejak 2021, kolaborasi Pertamina dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) telah menghasilkan bahan bakar dengan campuran bioavtur hingga 2,4% (J2,4) melalui mekanisme coprocessing di TDHT 1 RU IV Cilacap.

Uji coba pertama dilakukan pada bulan Oktober 2021 menggunakan pesawat teregistrasi militer Dirgantara Indonesia, CN235-200 FTB, rute Bandung-Jakarta. Dua tahun kemudian, pada Oktober 2023, pengujian dilanjutkan untuk pesawat komersial dengan uji terbang Boeing 737-800 milik Garuda rute Jakarta-Solo-Jakarta, sebuah rangkaian yang memperkuat bukti kesiapan penggunaan bahan bakar hijau pada armada pesawat.

Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman, mengatakan penerbangan ini bukan sekadar perjalanan udara biasa, melainkan tanda transisi energi yang semakin nyata di Indonesia.

"PertaminaSAF adalah sebuah langkah besar dalam dunia aviasi di Indonesia. Penerbangan spesial ini sekaligus menjadi bukti kalau KPI bisa menjadi pelopor energi hijau di Indonesia. Produk ini membuktikan bahwa kita memiliki kapabilitas dalam memproduksi produk bahan bakar pesawat masa depan," ungkap Taufik.

Ia menambahkan, PertaminaSAF merupakan produk berkualitas dan ramah lingkungan yang diproduksi oleh salah satu unit operasi KPI, yakni Kilang Cilacap. Produk ini telah melewati serangkaian pengujian kualitas yang ketat di laboratorium KPI Unit Cilacap dan juga di laboratorium eksternal independen Lemigas.

"Ke depan, PertaminaSAF juga akan diujicobakan untuk diproduksi di Kilang Dumai dan Kilang Balongan," tambah Taufik.

Produksi Pertamina SAF dilakukan dengan teknologi co-processing, menggunakan Katalis Merah Putih buatan anak bangsa. Hasilnya, PertaminaSAF dinyatakan memenuhi standar internasional ASTM D1655 dan DefStan 91-091.

Menurut Taufik, kualitas PertaminaSAF tidak kalah jika dibandingkan dengan produk serupa yang digunakan di negara lain. PertaminaSAF merupakan upaya konkret dalam percepatan pengurangan emisi karbon sebab kandungan karbon di dalamnya lebih rendah 81% dibanding avtur berbahan fosil.

"PertaminaSAF adalah bioavtur sustainable pertama yang memiliki sertifikat internasional sustainability ISCC CORSIA berbahan baku campuran UCO atau minyak jelantah yang diproduksi di Indonesia," kata Taufik.

Keunggulan lain, titik beku (freezing point) PertaminaSAF melampaui standar internasional. Taufik mengatakan, menurut standar internasional, spesifikasi titik beku avtur pada ketinggian yang jelajah pesawat komersial yakni minus 47 derajat celcius. Sementara di ketinggian yang sama, titik beku PertaminaSAF, bisa lebih rendah dari spesifikasi tersebut.

"PertaminaSAF tidak akan membeku di kondisi ekstrem, sehingga aman digunakan selama penerbangan. Aspek keselamatan yang sesuai bahkan melebihi standar internasional menjadikan produk ini memiliki nilai tambah yang semakin tinggi," tutur Taufik.

Tonton juga Video: Pertamina Luncurkan Penerbangan Perdana Sustainable Aviation Fuel Berbahan Baku Minyak Jelantah




(rrd/rrd)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork