Para pedagang se-DKI Jakarta menolak Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Ranperda KTR) yang sedang dalam tahap finalisasi oleh DPRD DKI Jakarta. Penolakan dilakukan karena aturan itu dinilai akan menghilangkan mata pencaharian pedagang kecil seperti pedagang kaki lima (PKL), hingga usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Adapun sejumlah aturan yang dinilai akan merugikan antara lain, pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, perluasan kawasan tanpa rokok hingga mencakup pasar tradisional dan pasar modern, pelarangan penjualan rokok secara eceran dan kewajiban memiliki izin khusus untuk penjualan rokok.
Ketia Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI), Ali Mahsun, meminta DPRD DKI Jakarta untuk membatalkan pasal-pasal pelarangan tersebut. Ia menegaskan aturan tersebut akan mengancam sebanyak 1,1 juga pedagang kecil di Jakarta.
"Kami menyayangkan ketidakberpihakan wakil rakyat terhadap usaha ekonomi rakyat kecil. Ada 1,1 juta pedagang kecil, warung kelontong, asongan, PKL, dan UMKM lainnya yang terdampak dengan larangan-larangan ini. Peraturan ini jelas berpengaruh terhadap pendapatan rakyat kecil yang selama ini jadi tulang punggung perekonomian lokal," ujar Ali Mahsun, dalam keterangannya, dikutip Senin (26/9/2026).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penolakan dilakukan dalam bentuk penandatanganan deklarasi yang juga dilakukan oleh Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara), Warteg Merah Putih (Kowarmart), Paguyuban Pedagang Warteg serta kaki lima Jakarta dan Sekitarnya (Pandawakarta).
Lebih lanjut, Ali Mahsun mengatakan para pedagang menagih janji perlindungan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung yang akan memberikan kesempatan dan wadah serta akses pasar rakyat kepada para pedagang kecil untuk naik kelas.
"Kami memohon perlindungan Bapak Gubernur atas janjinya yang memastikan bahwa peraturan ini tidak merugikan pedagang kecil. Kami juga memohon perlindungan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk menjamin bahwa kebijakan daerah tidak bertentangan dengan semangat kepemimpinan Presiden yang berpihak pada pelaku ekonomi rakyat kecil," tegasnya.
Senada, Ketua Kowantara, Mukroni, mengatakan pasal-pasal pelarangan merokok di warung makan rakyat kecil seperti warteg secara langsung mengakibatkan penurunan omzet secara signifikan. Apalagi di tengah kondisi sosio ekonomi saat ini, Mukroni menilai wakil rakyat tidak menunjukkan empati pada rakyat kecil.
Menurut data internal Kowantara, sekitar 25 ribu warteg se-Jabodetabek telah tutup pasca pandemi COVID-19. Angka itu menunjukkan hampir 50 persen dari total 50 ribu warteg yang pernah eksis.
"Ini menjadi beban tambahan buat kami pedagang warteg yang setiap hari berjuang untuk bertahan. Sudah banyak usaha warteg yang tumbang di tengah kondisi ekonomi saat ini. Melarang aktivitas merokok di rumah makan itu berarti wakil rakyat tidak mempertimbangkan realita usaha kecil. Pelanggan warteg bisa lari, dan itu semakin mempercepat pedagang bangkrut," katanya.
Simak Video 'Purbaya Kejar Rokok Ilegal, Bidik Marketplace sampai ke Stoples Warung':
(ada/rrd)