Matahari ada di atas kepala saat para nelayan sedang bersiap di tepi pantai Desa Kelan, Kabupaten Badung, Bali. Hari itu, mereka bukan mau melaut seperti biasanya, tapi mencoba mesin baru yang menempel di perahu. Mesin listrik yang siap diuji pertama kali.
Takjub. Mungkin itu yang dirasakan para nelayan saat mesin listrik pertama kali dinyalakan. Tak ada asap. Tak ada suara meraung. Mesin nyaris tak bersuara, cuma mendengung, mirip mesin pompa air rumahan. Bahkan, rombongan penumpang yang ikut mencoba mesin baru ini juga dibuat heran karena mesin sangat tenang.
Perahu lalu perlahan meninggalkan bibir pantai, mengikuti jalur hutan bakau di dekat desa. Kecepatan disesuaikan dengan arus. Kadang cepat, kadang lambat, memberi waktu untuk penumpang menikmati pemandangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepanjang perjalanan, hamparan bakau hijau terbentang di sisi perahu. Sesekali burung liar hinggap di cabang pohon, menambah kesan tenang dan alami perjalanan itu. Mata penumpang termanjakan.
Perjalanan dengan perahu bermesin 'sunyi' itu berjalan mulus, tanpa hambatan. Setengah jam berikutnya, penumpang tiba di restoran kayu apung yang masih berada di kawasan hutan bakau.
![]() |
Bagi para nelayan, mesin listrik ini membawa perubahan dalam keseharian mereka. Wayan Wirtha, salah satu nelayan Desa Kelan, bercerita tentang pengalamannya mencoba mesin baru itu untuk pertama kali.
Tenaga mesin listrik ini hampir sama kuatnya dengan mesin perahu berbahan bakar minyak (BBM), tapi bedanya, nelayan tak lagi perlu merogoh kocek buat beli BBM setiap kali melaut. Efisiensi biaya itulah yang langsung terasa manfaatnya bagi mereka.
Selain itu, mesin yang nyaris tak bersuara ini ramah terhadap satwa di hutan bakau. Suaranya yang lembut membuat perahu cocok digunakan untuk wisata susur bakau, tanpa mengganggu burung atau fauna lain di sekitarnya.
"Kalau saya, yang paling bagus sebenarnya untuk pariwisata, kita tuh kalau mancing lama diam, jenuh. Kalau kayak tadi, keliling-keliling ke mangrove sambil lihat pemandangan, bagus," katanya di Desa Kelan, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (8/10/2025) lalu.
Wisata susur hutan bakau ini juga memberikan pendapatan tambahan bagi Wirtha, selain dari hasil menangkap ikan. Biaya sewa perahu dibanderol antara Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu, tergantung ukuran. Tarif ini sudah disepakati bersama oleh kelompok nelayan, jadi adil buat semua pihak.
Program mesin perahu listrik ini datang lewat inisiatif Desa Energi Berdikari (DEB) Keluarga Nelayan Lestari (Kenali) dari PT Pertamina International Shipping (PIS). Lima unit mesin dan sepuluh baterai diserahkan kepada kelompok nelayan Desa Kelan. PIS menggandeng Divers Clean Action (DCA) dan Azura Indonesia sebagai pengembang mesin.
Manager Corporate Social Responsibility PT Pertamina International Shipping, Alih Istik Wahyuni, menjelaskan salah satu kriteria Desa Energi Berdikari ialah pemanfaatan energi baru terbarukan. Selain mesin perahu listrik, PIS memberi dukungan panel surya. Listrik yang dihasilkan panel surya ini akan digunakan untuk mengisi daya baterai.
Alih mengatakan, biasanya nelayan memanfaatkan BBM untuk menjalankan mesin perahu di mana mereka harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan bahan bakar tersebut. Dengan mesin ini, kata dia, pengeluaran nelayan untuk melaut berkurang drastis.
"Dengan menggunakan energi listrik itu makanya secara biaya mereka bisa sangat mengurangi lebih dari 70%. Kenapa? Karena mereka sudah nggak perlu BBM lagi," katanya.
Saat daya baterai habis, nelayan cukup isi ulang. Apalagi, di sana sudah ada listrik yang dihasilkan dari panel surya. Jadi, nelayan tak perlu mengeluarkan uang untuk mendapat pasokan energi. Selain itu, hadirnya mesin listrik juga memangkas emisi secara signifikan.
"Kemudian dari sisi emisi karbonnya itu juga sangat berkurang drastis lebih dari 78%. Kenapa? Karena kita lingkup itu, siklusnya itu sudah tertutup gitu ya. Jadi meskipun mesinnya itu bertenaga listrik, tapi tidak di-charge di listrik rumah tangga biasa," paparnya.
Ia menambahkan bahwa mesin listrik ini sekaligus membuka peluang pengembangan wisata di Desa Kelan, yang sebenarnya memiliki potensi alam dan budaya yang sangat besar.
"Jadi gini, kita kan melihat bahwa lingkungan sini sebetulnya memiliki potensi yang besar, yaitu berupa mangrove. Nah, salah satu keunggulan dari mesin berenergi listrik ini kan dia suaranya tidak berisik," terangnya.
"Mesin jenis ini itu sangat cocok untuk wisata, baik wisata mangrove ataupun wisata bird watching gitu. Karena dia tidak berisik, sehingga tidak menakuti burung ataupun fauna-fauna yang mau kita lihat sepanjang wisata susur mangrove itu," sambungnya.
Pada kesempatan yang sama, CEO dan Co-Founder Azura Indonesia, Nadea Nabilla, memberikan hitung-hitungan hemat para nelayan kalau pakai mesin listrik. Nelayan bisa hemat sampai hampir 70% dari biasanya.
"Karena cost-nya mereka beli minyaknya. Rp 150 ribu (jadi) cuma Rp 50 ribu. Listrik Rp 10 ribu, makan, rokok, kopi, umpan. Jadi terasa kayak nggak bayar apa-apa," katanya.
Ia menyampaikan, nelayan setidaknya butuh 5 liter BBM untuk sekali berlayar. Kalau harga BBM per liternya di pedagang eceran Rp 12.000, maka nelayan harus mengeluarkan biaya Rp 60 ribu khusus untuk BBM.
Berbeda kalau pakai baterai, nelayan cukup mengeluarkan biaya sekitar Rp 8.000 untuk mengisi listrik. Sedangkan jika listrik berasal dari panel surya, nelayan tak perlu mengeluarkan biaya sama sekali untuk mengisi baterai. Gratis.
"Kayak yang di-support sama PIS, berarti kan gratis. Yang di-support sama PIS, sekali nge-charge bisa dua koper (baterai) sekaligus. Dua koper, nanti tinggal gantian," ungkapnya.
Mesin ini juga didesain tahan air. Mesin listrik juga telah dilengkapi pengaman ketika bermasalah. "Sebenarnya kita sudah mendesain biar aman. Karena itu kalau lihat ada button warna merah, itu sebenarnya quick stop. In case ada apa-apa, putar warna merah, all off," imbuhnya.
Potensi Hutan Bakau
Kepada detikcom, Pengamat Maritim, Marcellus Hakeng Jayawibawa, menjelaskan Indonesia punya sekitar 3,39 juta hektar hutan mangrove berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2022.
Dari jumlah itu, hutan mangrove lebat dengan kerapatan di atas 70% mencapai 3,16 juta hektar, sedangkan mangrove sedang dan jarang masing-masing sekitar 186,5 ribu dan 53,8 ribu hektar. Potensi wisata mangrove ini begitu besar, mencakup untuk kegiatan susur bakau, pengamatan fauna, hingga terapi untuk ketenangan.
"Mangrove yang lebat menciptakan ruang alami untuk wisata susur sungai, pengamatan fauna, fotografi alam, hingga terapi jiwa bagi mereka yang mencari ketenangan," katanya.
![]() |
Namun, potensi yang besar itu belum tergarap optimal. Potensi itu masih berupa kawasan hutan yang belum seluruhnya terjelajahi. Sebagian lagi memang sudah berkembang seperti Wonorejo di Surabaya, Bedul di Banyuwangi, Karimunjawa di Jawa Tengah, dan Teluk Bintuni di Papua Barat.
"Tetapi skala keberhasilannya masih berskala lokal, belum menjadi gerakan nasional yang terintegrasi. Banyak hutan mangrove tetap berdiri dalam sunyi, indah tapi belum dikenal, kaya tapi belum dikelola, berpotensi tapi belum diberdayakan," ungkapnya.
Faktor utamanya karena kurangnya faktor infrastruktur wisata berkelanjutan, minimnya promosi ekowisata, lemahnya kolaborasi antarinstansi, serta belum kuatnya peran masyarakat lokal sebagai pengelola utama.
"Akibatnya, sebagian besar kawasan mangrove masih menjadi penyangga ekologi semata, belum menjadi sumber ekonomi biru yang adil dan lestari," tambahnya.
Marcellus berpandangan, masyarakat memiliki peran utama pada tahap awal dalam memaksimalkan potensi hutan mangrove. Untuk itu, perlu adanya pelatihan agar sektor wisata mampu memberikan penghidupan bagi masyarakat.
"Ketika masyarakat pesisir diberdayakan melalui koperasi, pelatihan, dan ekonomi kreatif berbasis mangrove, wisata berubah menjadi gerakan hidup yang menghidupi, bukan sekadar industri yang mengambil," jelasnya.
Bekal Keluarga Nelayan
Alih mengatakan, PIS menyadari bahwa kehidupan nelayan penuh dinamika, dengan pendapatan yang naik turun tergantung hasil tangkapan. Karena itu, perhatian PIS tak hanya tertuju pada penyediaan energi baru terbarukan untuk nelayan, tetapi juga pada keluarga mereka, sebagai penopang utama keseharian nelayan.
Menurutnya, agar keluarga turut serta menopang kehidupan nelayan maka pihaknya perlu memberikan pelatihan dalam hal pengolahan hasil laut. Lewat program ini, tangkapan hasil laut bisa diolah hingga memberikan nilai tambah. Produk-produk hasil olahan itu juga diharapkan menunjang kegiatan wisata susur hutan mangrove.
"Jadi selain bisa membuat abon ikan juga bisa membuat masakan-masakan yang bisa dijual langsung di sini. Jadi ketika misalkan ada wisatawan yang sewa kapal untuk mancing atau susur mangrove, makan siangnya atau camilannya bisa di-support dari ibu-ibu di sini," katanya.
Selain soal ekonomi, sektor pendidikan juga diperhatikan PIS. Lewat Ocean Literacy, PIS berupaya meningkatkan kesadaran pada anak-anak untuk menjaga laut. Sebagai contoh sederhana, pada anak-anak diajarkan untuk tidak membuang sampah di laut.
"Karena pasti lihat ya kalau kita mau ke laut gitu, lihat pantai itu pasti banyak sampah-sampah yang menggenang atau yang kemudian tersangkut di mangrove. Nah itu kan sebenarnya menghambat pertumbuhan dan mencemari lautnya. Nah ternyata sampah itu kan bisa dikumpulin, dipilah, dan dimanfaatkan," terangnya.
Tak berhenti di sana, PIS juga memberikan pelatihan dalam meningkatkan literasi keuangan. Program ini diharapkan membuat keluarga nelayan bisa mengatur keuangan mereka. Jadi, kualitas hidup mereka bisa meningkat.
"Tadi, ketika punya uang 'Oh ternyata harus ada yang ditabung dulu'. Terus, 'Oh ternyata harus ada yang disimpan, tidak semua dibelanjakan'. Supaya keluarga nelayan ini bisa memiliki pendapatan yang stabil dan meningkatkan kualitas hidup mereka," tutupnya.
Tonton juga Video: Heboh Kapal Nelayan Berlayar Tanpa Awak di Pulau Balang Caddi